Dua Pendeta di Sudan Terancam Hukuman Mati
KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM – Dua pendeta Kristen di Sudan kemungkinan besar akan menghadapi hukuman mati. Fakta tersebut dikemukakan American Center for Law and Justice (ACLJ) dan diberitakan kembali Christian Post, hari Selasa (13/12).
Peringatan tersebut sudah dijelaskan ACLJ yang meluncurkan petisi global yang meminta dunia untuk membantu menyelamatkan dua pendeta tersebut.
Dua pendeta tersebut adalah, Hassan Abduraheem dan Kuwa Shamal yang telah ditangkap, dipindahkan, dan berulang kali ditangkap kembali beberapa tahun lalu di Sudan. Pemerintah negara itu menuduh mereka melakukan kejahatan yang mengancam keamanan nasional.
Ketua Penasehat ACLJ, Jay Sekulow mengatakan dijebloskannya dua pendeta tersebut dalam penjara karena iman yang mereka anut. Dia mengingatkan jika tidak ada sesama umat Kristen yang berani bersuara, maka Pemerintah Sudan akan menghukum mati kedua pendeta tersebut.
“Jika dunia tetap diam, mereka akan dijatuhi hukuman gantung karena iman mereka,” kata Sekulow dalam surat elektronik yang berisi permohonan agar banyak orang mengisi petisi yang menyerukan penghentian kepada dua pendeta tersebut.
“Pendeta Hassan dan Kuwa perlu suara Anda sekarang. Waktu terus berpacu karena masa persidangan sudah dekat, dan jika kami diam, maka mereka akan segera mati,” kata dia.
“Saat ini banyak umat Kristen di Sudan menghadapi kematian yang dapat terbebas dari hukuman kematian, hanya bila anda mau angkat bicara Sekarang saya menginginkan anda sebagai bersuara agar seruan anda tentang Kristen teraniaya ini menjadi terdengar,” kata dia.
Pihak berwenang Sudan telah menangkap banyak pendeta Kristen dalam beberapa tahun terakhir, namun kondisi tersebut bertolak belakang karena di Sudan Selatan dua pendeta dari gereja Presbyterian, Pendeta Yat Michael dan Peter Yein Reith bebas dari penjara pada Agustus 2015, padahal mereka sempat menghadapi divonis eksekusi mati.
Petisi terbaru ACLJ, yang telah ditandatangani oleh 56.000 orang memperingatkan bahwa ada tindakan mematikan yang dapat diberlakukan pemerintah negara tersebut terhadap umat Kristen.
Petisi itu juga mencatat bahwa Abduraheem dan Shamal telah menghabiskan 12 bulan dalam kondisi sangat miskin, dan kondisi ekonomi dua pendeta tersebut sangat tidak mungkin tertanggulangi, kecuali jika ada seseorang yang berniat untuk bicara.
Sementara itu menurut Mervyn Thomas, Chief Executive dari organisasi yang mengurusi penganut Kristiani yang teraniaiya di dunia, Christian Solidarity Worldwide (CSW), mengatakan berdasar laporan CSW bahwa dua pendeta tersebut mengalami pelecehan dan menerima perlakukan yang tidak pantas.
Menurut CSW yang mengutip pernyataan kuasa hukum dua pendeta tersebut mengatakan, pada bulan Mei 2016, saat pemerintah menangkap dua pendeta tersebut, pemerintah melakukan penahanan dua pendeta tersebut di kamar kecil dengan pasokan listrik dan ventilasi yang terbatas.
Shamal dan Abduraheem berasal dari Pegunungan Nuba di Kordofan Selatan, sebuah daerah yang telah menjadi target pasukan pemerintah Sudan sejak tahun 2011. Pemerintah melakukan kampanye pemboman udara di daerah tersebut, karena ingin memberantas kelompok “Sudan People Liberation Movement” atau Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan yang menyebabkan banyak kematian warga sipil.
Thomas mengatakan bahwa perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap kedua pendeta tersebut merupakan indikasi Pemerintah Sudan yang melecehkan dan membatasi hak-hak komunitas Kristen. (christianpost.com)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Dunia Dalam Krisis Polusi Plastik, Tapi Perundingan Perjanji...
BUSAN, KOREA SELATAN, SATUHARAPAN.COM-Negara-negara di dunia menyelesaikan perundingan perjanjian ak...