Gomar Harap RI Dialog Peradaban Hadirkan Islam Ramah Damai
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Gomar Gultom menyatakan keprihatiannya terhadap peristiwa kekerasan yang terjadi di sebuah gereja di Nice, Prancis pada pekan lalu.
Gomar mengaku tidak tertarik dengan pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menimbulkan polemik di sejumlah negara.
“Keprihatinan saya yang mendalam justru kepada pemenggalan leher seorang guru di sana dan pembunuhan di Nice. Saya tak begitu tertarik dengan ucapan Presiden (Prancis) tersebut, apalagi dengan latar belakang negaranya yang sekular,” kata Pendeta Gomar Gultom kepada satuharapan.com, pada Senin (2/11).
Sebagai umat beragama, Gomar berharap semua pihak dapat sabar dan menahan diri. Menurutnya, martabat agama dan keyakinan tidak akan berkurang nilainya oleh ucapan seseorang, termasuk Presiden Prancis.
Ketua Umum PGI itu mengatakan kekristenan di Prancis dan di berbagai belahan dunia lainnya sudah kenyang dihina dan diperlakukan sampai ke titik nadir, termasuk di Indonesia.
“Umat Kristen sabar dan menahan diri, karena sadar hal itu tidak mengurangi keimanan umat. Saya berdoa untuk umat Islam di Indonesia dapat bersikap sama,” harap Gomar.
Menurutnya, dalam konteks Eropa yang sering dikecam sebagai “islamophobia”, Indonesia dapat menyumbangkan dialog peradaban dengan menghadirkan Islam Indonesia yang ramah dan damai.
“Kita mestinya prihatin dengan makin seramnya ‘wajah’ beberapa penganut agama di ruang publik,” katanya.
Indonesia Mengecam Keras
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengecam keras terjadinya kekerasan yang terjadi di Kota Paris dan Nice dan mengakibatkan timbulnya korban jiwa. Selain itu, Presiden juga mengecam pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia.
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo selepas melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para perwakilan antarumat beragama di Indonesia, juga para menteri terkait untuk membahas perkembangan dunia terkait dengan persaudaraan antarumat beragama.
"Pertama, Indonesia mengecam keras terjadinya kekerasan yang terjadi di Paris dan Nice yang telah memakan korban jiwa. Kedua, Indonesia juga mengecam keras pernyataan Presiden Prancis yang menghina agama Islam yang telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia yang bisa memecah belah persatuan antarumat beragama di dunia di saat dunia memerlukan persatuan untuk menghadapi pandemi Covid-19," ujarnya di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (31/10).
Dalam keterangan itu, Kepala Negara menegaskan bahwa kebebasan berekspresi yang dapat mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama sama sekali tidak dapat dibenarkan dan harus segera dihentikan.
"Mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar. Terorisme adalah terorisme, teroris adalah teroris. Terorisme tidak ada hubungannya dengan agama apapun," imbuh Presiden.
Presiden Jokowi juga mengajak komunitas internasional untuk bersatu dan mengedepankan sikap toleransi antarumat beragama untuk membangun dunia yang lebih baik. Saat ini, persatuan dunia dan suasana kondusif amat diperlukan untuk menghadapi pandemi Covid-19.
"Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi beragama untuk membangun dunia yang lebih baik," ujarnya.
Presiden bersama dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebelumnya melakukan pertemuan dan diskusi bersama perwakilan antarumat beragama, yakni H Helmy Faishal (Sekjen PB Nahdlatul Ulama), KH Muhyiddin Junaidi (Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia), dan H Anwar Abbas (Ketua PP Muhammadiyah).
Hadir pula Pdt Jacklevyn F. Manuputty (Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia), Ignatius Kardinal Suharyo (Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia), Wisnu Bawa Tenaya (Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia), Arief Harsono (Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia), dan Xs. Budi Santoso Tanuwibowo (Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia).
Bukan Alasan untuk Melakukan Kekerasan
Pada akhir pekan lalu, Sabtu (31/10), Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan bahwa dia menghormati Muslim yang dikejutkan oleh kartun Nabi Muhammad, tetapi itu bukan alasan untuk melakukan kekerasan. Dan para pejabatnya meningkatkan keamanan setelah serangan dengan pisau di sebuah gereja di Prancis yang menewaskan tiga orang pekan lalu.
Seorang penyerang yang meneriakkan "Allahu Akbar" memenggal kepala seorang perempuan dan membunuh dua orang lainnya di sebuah gereja di Nice pada hari Kamis (29/10), dalam serangan dengan pisau mematikan kedua di Prancis dalam dua pekan dengan dugaan motif Islamis.
Tersangka penyerang, berusia 21 tahun dari Tunisia, ditembak oleh polisi dan sekarang dalam kondisi kritis di rumah sakit.
Polisi mengatakan pada hari Sabtu bahwa satu orang lagi ditahan sehubungan dengan serangan itu. Orang itu bergabung dengan tiga orang lainnya yang sudah ditahan karena dicurigai melakukan kontak dengan penyerang.
Macron telah mengerahkan ribuan tentara untuk melindungi situs-situs seperti tempat ibadah dan sekolah, dan para menteri telah memperingatkan bahwa serangan "militan Islamis" lainnya dapat terjadi.
Ketegangan Meningkat
Serangan di Nice, pada hari Muslim merayakan ulang tahun Nabi Muhammad, terjadi di tengah kemarahan Muslim yang meningkat di seluruh dunia terhadap pembelaan Prancis atas hak untuk menerbitkan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad.
Pada 16 Oktober, Samuel Paty, seorang guru sekolah di pinggiran kota Paris, dipenggal kepalanya oleh seorang imigram dari Chechnya yang berusia 18 tahun yang tampaknya marah terhadap guru itu yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas selama pelajaran kewarganegaraan.
Para pengunjuk rasa mengecam Prancis dalam aksi unjuk rasa jalanan di beberapa negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan beberapa telah menyerukan untuk memboikot barang produksi Prancis.
Prancis mengantisipasi kemungkinan serangan lainnya, tersentak pada Sabtu (31/10) malam ketika seorang imam Gereja Ortodoks Yunani ditembak dan terluka di gerejanya di kota Lyon di tenggara. Tetapi para pejabat tidak memberikan indikasi bahwa ada dugaan terorisme.
Penjelasan Macron
Dalam upaya untuk memperbaiki apa yang dia katakan sebagai kesalahpahaman tentang niat Prancis di dunia Muslim, Macron memberikan wawancara kepada jaringan televisi Arab yang disiarkan pada hari Sabtu.
Di dalamnya, dia mengatakan Prancis tidak akan mundur dalam menghadapi kekerasan dan akan membela hak kebebasan berekspresi, termasuk penerbitan kartun. Tetapi dia menekankan bahwa tidak berarti dia atau para pejabatnya mendukung kartun-kartun itu, yang oleh Muslim dianggap menghujat, atau bahwa Prancis anti Muslim.
"Jadi saya memahami dan menghormati bahwa orang dapat dikejutkan oleh kartun ini, tetapi saya tidak akan pernah menerima bahwa seseorang dapat membenarkan kekerasan fisik atas kartun ini, dan saya akan selalu membela kebebasan di negara saya untuk menulis, berpikir, menggambar," Kata Macron, menurut transkrip wawancara yang dirilis oleh kantornya.
"Peran saya adalah menenangkan segalanya, itulah yang saya lakukan, tetapi pada saat yang sama, melindungi hak-hak ini," kata dia seperti dilansir dari Reuters.
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...