Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 22:16 WIB | Rabu, 27 Januari 2021

Intoleransi di Sekolah, Mengapa?

Belajar dalam suasana saling menghargai pada perbedaan agama. (Foto: mosintuwu.com)

SATUHARAPAN.COM-Beberapa hari ini banyak dibahas kasus siswi, termasuk yang bukan Muslim, di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, diwajibkan mengenakan jilbab. Dan masalahnya berkembang, karena perilaku intoleransi ini sudah berlangsung lama, dan juga terjadi di beberapa daerah, dan lebih ironis, karena ini terjadi di dunia pendidikan.

Reaksi keras terlihat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yang menyebut itu sebagai pelanggaran bukan saja terhadap peraturan tentang seragam sekolah, tetapi terhadap nilai-nilai dasar negara Pancasila. Dia minta tindakan tegas terhadap pihak yang terlibat, bahkan kemungkinan pembebasan dari jabatan pihak yang terbukti bersalah. 

Masalah intoleransi dan diskriminasi terkait keyakinan agama yang terjadi di dunia pendidikan di Indoensia telah lama menjadi keprihatinan. Kasus di Padang sangat mungkin hanyalah fenomena gunung es, dari kasus yang sebenarnya jauh lebih serius. Banyak kasus terpendam, karena para siswa dan orangtua khawatir dengan konsekuensi yang ditanggung jika mereka mengungkapkannya.

Bukan Hanya Satu Siswa 

Lembaga pendidikan, khususnya sekolah, haruslah menjadi ligkungan yang kondusif bagi proses edukasi. Ini bukan saja proses ketika berada di ruang kelas di mana guru mengajar, tetapi seluruh aktivitas yang terkait dengan sekolah harus bisa dipertanggungjawabkan sebagai proses pendidikan.

Iklim pndidikan yang utama adalah adanya apresiasi dan keteladanan sebagai manusia pembelajar yang maju dan moderen, mermoral dan beretika baik. Iklim seperti ituyang akan sangat berpengaruh pada perkembangan peserta didik. Maka menjadi keprihatinan yang mendalam ketika di entitas pendidikan dan peraturannya justru memberi “contoh” tentang perilaku intoleransi dan diskriminatif.

Contoh kasus di Padang ini bukan sekadar satu siswi non Muslim yang menjadi korban intolerasi dan aturan tang otoriter, tetapi seluruh entitas sekolah itu sedang “diajarkan” tentang perilaku intoleransi dan diskriminasi. Puluhan siswi non Muslim lain yang “terpaksa” mengikuti aturan intoleransi itu, adalah korban dari “teror” dominasi pimpinan sekolah, sehingga mereka terpaksa diam dan “mengikuti aturan”.

Sangat disayangkan bahwa dunia pendidikan yang seharusnya menjadi gerbang membuka wawasan bagi peserta didik untuk kemerdekaan berpikir dan berkreasi, demokrasi, dan mengembangkan inovasi bagi kehidupan yang lebih baik, justru dikurung oleh model pengelolaan yang otoritarian, bahkan intoleransi dan diskriminatif.

Jika situasi seperti ini tidak bisa diatasi, terutama di sekolah negeri, kualitas pendidikan di Indonesia akan tertinggal dari negara lain yang maju pesat. Sumber daya manusia Indonesia bisa makin terbelakang di tengah bangsa-bangsa yang makin maju di tengah multikulturalisme yang tidak bisa dibendung.

Dogmatis atau Moral dan Etika?

Beberapa hari sebelum kasus SMKN 2 Padang itu mencuat, masalah intoleransi disinggung dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Agama dan Institut Leimena yang mengangkat tema: Membangun saling memahami antara umat Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai keluarga Abrahamik melalui pendidikan.

Seminar itu memang menyoroti pendidikan agama, tetapi masalah yang lebih besar sebenarnya menyangkut banyak aspek di lembaga pendidikan di Indonesia.Salah satu pembicara adalah Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dia mengatakan, pendidikan (agama) harus menekankan aklak mulia, yaitu moralitas dan etika, di atas teologi. Keyakinan agama (dogma) tidak bisa diubah dan dikompromikan, dan tidak bisa dijadikan landasan untuk kerja sama. Mengutamakan etika sosial ketimbang dominasi teologi dan klaim superioritas agama, jauh lebih berharga dalam pendidikan.

Bahkan dia mengatakan setiap pemahaman agama harus bersedia diuji dengan etika universal. Sebab, era global ini ditandai oleh fenomena perjumpaan orang dari berbagai latar belakang, termasuk agama. Dan ini terjadi juga di sekolah-sekolah, sehingga menuntut adanya saling menghargai dalam perbedaan.

Buah pendidikan adalah etika, perilaku yang baik dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Ini tidak bisa dihasilkan oleh pengajaran doktrin (indoktrinasi) dan memaksakan perilaku intoleransi. Sayangnya, Amin Abdullah melihat bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan itu. Mengapa? Karena terperangkap pada “jebakan kebenaran tunggal.” Dan kasus di Padang menegaskan kebenaran apa yang dia katakan itu. 

Kasus di Padang membuka mata kita bahwa tugas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dan jajaran kedua kementerian itu sangat besar dan berat untuk mengatasi masalah yang sangat serius bagi bangsa Indonesia, intoleransi dan diskriminasi, yang bisa menjerumuskan Indonesia pada “jebakan keterbelakangan.”

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home