Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 11:37 WIB | Sabtu, 17 Februari 2024

Kanada, Australia, Selandia Baru Serukan Gencatan Senjata di Gaza

Pengungsi Palestina berdiri di luar tenda mereka di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 14 Februari 2024, di tengah berlanjutnya pertempuran antara Israel dan Hamas. (Foto: AFP)

GAZA, SATUHARAPAN.COM-Para pemimpin Kanada, Australia dan Selandia Baru pada hari Kamis (15/2) menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza, menurut pernyataan bersama yang dirilis sebagai tanggapan terhadap laporan tentang rencana operasi militer Israel di Rafah.

“Kami sangat prihatin dengan indikasi bahwa Israel merencanakan serangan darat ke Rafah. Operasi militer ke Rafah akan menjadi bencana besar,” demikian pernyataan perdana menteri ketiga negara tersebut. “Gencatan senjata kemanusiaan segera sangat dibutuhkan.”

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan pihaknya akan terus melancarkan serangan terhadap Hamas di Rafah, tempat perlindungan terakhir bagi pengungsi Palestina di Gaza selatan, setelah mengizinkan warga sipil untuk mengosongkan daerah tersebut.

Namun, kelompok hak asasi manusia internasional telah memperingatkan bahwa lebih dari 1,4 juta warga Palestina yang berlindung di Rafah tidak punya tempat tujuan lagi setelah Israel menghancurkan semua wilayah yang tersisa yang sebelumnya dikatakan sebagai zona aman.

Pernyataan tersebut mendesak Israel untuk tidak melakukan serangan, namun dikatakan bahwa gencatan senjata tidak dapat dilakukan secara “sepihak,” dan akan mengharuskan Hamas untuk melucuti senjatanya dan segera membebaskan semua sandera yang tersisa.

Para pemimpin juga mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Internasional pada bulan Januari mengenai kasus genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan mewajibkan Israel untuk melindungi warga sipil dan memberikan layanan dasar serta bantuan kemanusiaan yang penting.

“Perlindungan warga sipil adalah hal terpenting dan merupakan persyaratan berdasarkan hukum humaniter internasional,” kata pernyataan itu. “Warga sipil Palestina tidak bisa dipaksa membayar akibat mengalahkan Hamas.”

Tuntutan Delusi

Di Kairo, mediator dari Amerika Serikat, Qatar dan Mesir berusaha menjadi perantara kesepakatan yang akan menghentikan pertempuran dan membebaskan sekitar 130 sandera yang masih berada di Gaza dengan imbalan tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel.

“Israel tidak menerima proposal baru dari Hamas di Kairo mengenai pembebasan sandera kami,” kata kantor Netanyahu dalam sebuah pernyataan menyusul laporan media Israel bahwa delegasi negara tersebut diberitahu untuk tidak bergabung kembali dalam perundingan sampai Hamas melunakkan pendiriannya.

Meskipun dia tidak mengomentari secara langsung laporan tersebut, Netanyahu mengatakan: “Saya bersikeras agar Hamas membatalkan tuntutan khayalan mereka, dan ketika mereka membatalkan tuntutan ini, kita dapat melanjutkan.”

Pada hari Selasa (13/2), direktur CIA, William Burns, bergabung dalam pembicaraan dengan David Barnea, kepala dinas intelijen Mossad Israel, ketika delegasi Hamas berada di Kairo pada hari Rabu (14/2).

Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, yang memerintah Tepi Barat yang diduduki Israel, meminta Hamas untuk “segera” menyetujui gencatan senjata dan mencegah tragedi lebih lanjut bagi warga Palestina.

Sementara itu Biro Investigasi Federal Amerika Serikat mengungkapkan bahwa direkturnya, Christopher Wray, telah melakukan perjalanan mendadak ke Israel untuk bertemu dengan lembaga penegak hukum dan intelijen negara tersebut. Wray juga bertemu dengan agen FBI yang berbasis di Tel Aviv, menurut pernyataan dari biro tersebut.

Rumah Sakit Terkepung

Saat perundingan gencatan senjata memasuki hari ketiga, militer Israel terus melakukan pemboman terhadap Gaza. Pada hari Kamis (15/2) , kementerian kesehatan di Gaza mengatakan 107 orang, “kebanyakan perempuan dan anak-anak,” tewas dalam serangan semalam.

Satu orang tewas dan beberapa lainnya terluka dalam penembakan di departemen ortopedi Rumah Sakit Al-Nasser, tambahnya. Fasilitas medis tersebut, yang terbesar di Gaza selatan, telah menjadi lokasi pertempuran sengit selama beberapa pekan.

Doctors Without Borders mengutuk perintah militer Israel untuk mengevakuasi ribuan pasien, staf, dan pengungsi dari rumah sakit. Organisasi tersebut mengatakan stafnya terus merawat pasien di sana “di tengah kondisi yang hampir mustahil.”

Perawat Mohammed al-Astal mengatakan kepada AFP bahwa fasilitas tersebut telah “dikepung” selama sebulan, tanpa makanan atau air minum yang tersisa. “Pada malam hari, tank melepaskan tembakan keras ke rumah sakit dan penembak jitu di atap gedung sekitar Rumah Sakit Al-Nasser melepaskan tembakan dan menewaskan tiga pengungsi,” katanya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan mereka tidak diberi akses ke rumah sakit dan kehilangan kontak dengan stafnya di sana, sementara perwakilan Palestina mengatakan sebagian besar permintaan misi organisasi tersebut telah ditolak sejak Januari.

Berbicara dari Rafah, Rik Peeperkorn mengatakan rumah sakit di Gaza “benar-benar kewalahan.” Pasien sering kali menjalani amputasi anggota tubuh yang tidak perlu, yang sebenarnya bisa diselamatkan dalam keadaan biasa, katanya.

PBB mengatakan sepekan yang lalu bahwa tidak ada lagi rumah sakit yang berfungsi penuh di Gaza, di mana lebih dari 68.200 orang terluka menurut jumlah korban terbaru dari kementerian kesehatan di Jalur Gaza.

Kementerian mengatakan setidaknya 28.576 orang, sebagian besar perempuan dan chi Anak-anak, telah terbunuh dalam serangan Israel di wilayah Palestina sejak 7 Oktober.

Serangan Hamas yang melancarkan perang mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang di Israel, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel. (AFP/Al Arabiya)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home