Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 11:58 WIB | Minggu, 11 Februari 2024

Pemilu Indonesia, Kandidat Perempuan dan Minoritas Menghadapi Tantangan

Seorang pengendara morot melewati spanduk calon legislatif di Jakarta, Indonesia, pada 24 Januari 2024. Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini akan mengadakan pemilu nasional pada 14 Februari. (Foto: AP/Achmad Ibrahim)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Kandidat perempuan dan dari kelompok minoritas untuk anggota legislative di berbagai tingkatan menghadapi tantangan dalam pemilihan umum di Indonesia, yang akan berlangsung pada hari Rabu (14/2).

Hal itu juga terjadi pada calon anggota DPRD DKI Jakarta, Rian Ernest, yang beragama Kristen. Ernest adalah satu dari ribuan kandidat yang menghadapi kontradiksi dalam meraih jabatan sebagai anggota minoritas di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang mengadakan pemilihan umum nasional pada hari Rabu, menurut laporan AP.

Pemilu di negara ini seringkali mengungkapkan ketegangan antara pluralisme dan kekuatan kelompok konservatif yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Hampir 90% dari 277 juta penduduk Indonesia adalah Muslim. Jumlah umat Kristen di Jakarta hanya kurang dari satu juta orang, dari sekitar 10 juta penduduk.

Umat ​​Kristen seperti Ernest menguasai sekitar 14% kursi di badan legislatif nasional, dan jumlahnya hanya di bawah 9% dari populasi umum, namun mereka terus-menerus menghadapi pertanyaan tentang keyakinan mereka.

Sistem kuota nasional telah membantu lebih banyak perempuan memenangkan jabatan, namun masih belum mencapai targetnya. Dan pada pemilu kali ini, sebuah partai baru berupaya memenangkan keterwakilan kelompok marginal seperti pekerja rumah tangga dan penyandang disabilitas.

Ernest, seorang pengacara yang beralih menjadi politisi, mencalonkan diri untuk kursi legislatif kota di Jakarta Timur untuk Golkar, partai terbesar kedua di Indonesia. Ibu kota adalah salah satu tempat terbaik untuk menjalankan kehidupan sebagai seorang Kristen, katanya.

Jakarta memilih gubernur yang beragama Kristen yang beretnis Tionghoa pada tahun 2014, namun ia kalah dalam pemilihan kembali setelah Muslim konservatif menuduhnya melakukan penistaan agama, dan akhirnya dipenjara karenanya.

Setelah Basuki Tjahaja Purnama dituduh saingannya salah menafsirkan Al Quran untuk menentang gubernur Kristen, ratusan ribu orang turun ke jalan untuk melakukan protes. Kini Anies Baswedan, yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa untuk meraih kemenangan atas Ahok pada pemilihan gubernur tahun 2017, merupakan salah satu calon presiden utama.

“Pola pikir seperti itulah yang mungkin membuat beberapa kandidat non Muslim berpikir dua kali untuk berkampanye di komunitas Muslim konservatif,” kata Ernest. Ia menambahkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia bersikap toleran, kecuali ada sesuatu yang memicu konflik, dan negara ini memiliki masyarakat pluralis yang menghormati kebebasan berekspresi.

Tahun ini, Ernest mencoba memenangkan hati pemilih dengan menawarkan beras dengan harga setengah dari harga biasanya, dengan foto Ernest, nomor calonnya, dan pesan kampanye di setiap beras. Ia mengatakan ini adalah alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan jual beli suara, yang banyak terjadi dalam pemilu di Indonesia.

Supriatna, seorang pedagang makanan berusia 22 tahun dan baru pertama kali menjadi pemilih, mengapresiasi pemberhentian kampanye di lingkungan yang hampir tidak pernah dikunjungi oleh politisi. Dia mengatakan iman Ernest bukan urusannya.

“Yang penting calon legislatif mau terjun langsung ke akar rumput, menanyakan langsung apa yang dibutuhkan masyarakat,” kata Supriatna, seorang pemilih pemula yang, seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, hanya menggunakan satu nama.

Kandidat Perempuan

Kandidat perempuan mungkin menghadapi perjuangan berat, meskipun sistem kuota mengharuskan 30% kandidat adalah perempuan sejak tahun 2004.

Sejak tahun 2004, jumlah kursi yang dipegang oleh perempuan di parlemen nasional telah meningkat dari sekitar 8% menjadi lebih dari 21%, menurut angka Bank Dunia. Perempuan bahkan lebih jarang duduk di legislatif provinsi dan kabupaten, masing-masing hanya 18% dan 15%, menurut KPU. Di 25 dari 167 DPRD di Indonesia, tidak ada perempuan sama sekali yang terpilih pada tahun 2019.

“Saya ingin hadir untuk menyuarakan kebutuhan dan permasalahan perempuan yang harus diakomodasi oleh undang-undang,” kata Muharyati, salah satu kandidat di Jakarta Timur.

Muharyati, orang tua tunggal berusia 54 tahun yang memiliki dua anak dan kehilangan sebagian tangan kirinya, adalah ketua Ikatan Perempuan Penyandang Disabilitas Indonesia (Perhimpunan Perempuan Disabilitas Indonesia) dan mengatakan bahwa ia harus menanggung cemoohan karena keraguan mengenai kompetensinya untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Jakarta.

Dia mencalonkan diri bersama Partai Buruh yang baru dibentuk, yang mengajukan kandidat dari kelompok marginal dalam pemilihannya di seluruh negeri.

Muharyati mengatakan banyak kebijakan, peraturan perundang-undangan yang cenderung tidak berpihak pada perempuan, khususnya perempuan penyandang disabilitas. “Saya akan memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan dan penyandang disabilitas jika saya terpilih,” kata Muharyati.

Kandidat Partai Buruh lainnya, Yuni Sri Rahayu, 41 tahun, berupaya mewakili jutaan pekerja rumah tangga di Indonesia, yang tidak dilindungi undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan Indonesia.

Dia telah bekerja sebagai pembantu rumah tangga sejak usia 16 tahun, dan merupakan anggota dewan Jaringan Advokasi Nasional untuk Pekerja Rumah Tangga.

Sekitar sembilan juta orang Indonesia melakukan pekerjaan rumah tangga di dalam dan luar negeri pada tahun 2020, menurut perkiraan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dirilis pada tahun 2020.

Rahayu mengatakan, latar belakang profesinya menjadi kendala baginya dalam meyakinkan warga untuk mendukungnya pada pemilu legislatif Februari mendatang.

“Saya ingin memperjuangkan dan mendorong anggota parlemen untuk segera mengesahkan RUU perlindungan pekerja rumah tangga menjadi undang-undang,” katanya.

Anggota parlemen pertama kali mengusulkan rancangan undang-undang untuk melindungi pekerja domestik pada tahun 2004, yang menangani isu-isu diskriminasi, pelecehan dan penghinaan, namun hal ini tidak pernah berhasil, meskipun setidaknya sudah ada tiga upaya yang dilakukan.

Pekerja rumah tangga seringkali bekerja dengan jam kerja yang panjang tanpa istirahat atau waktu istirahat yang cukup, dan hanya mempunyai sedikit perlindungan dari kekerasan yang dilakukan majikan. Mereka juga tidak menerima jaminan sosial.

“Banyak yang menganggap aneh kalau ada pembantu rumah tangga yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif,” kata Rahayu. “Tetapi kami sangat membutuhkan perwakilan di parlemen untuk menyuarakan hak-hak sesama pekerja rumah tangga.” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home