Peran Keluarga dan Gereja Antisipasi Efek Samping Pesta Demokrasi
SATUHARAPAN.COM - Antisipasi dini dari dampak pesta demokrasi telah dideteksi oleh banyak kalangan. Tak terkecuali potensi persoalan kesehatan jiwa para caleg. Jelang PEMILU, akumulasi kekuatiran merebak terasa dimana-mana. Mulai dari kekuatiran tentang distribusi logistik yang kacau, penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan dugaan kecurangan sampai potensi gangguan jiwa dan stress yang akan dialami oleh para caleg yang terpilih, ataupun yang tidak terpilih.
Disadari atau tidak, sejatinya demokrasi di negara kita dirasa mahal harganya. Ketatnya persaingan antar caleg lintas partai maupun sesama partai karena peraturan suara terbanyak mencerminkan kerasnya pertarungan para caleg. Fenomena ini tidak saja menguras pikiran, tenaga, waktu serta dana, akan tetapi juga kesehatan jiwa para pemainnya yaitu para caleg. Mengingat potensi dampak dekstruktif dari demokrasi maka beberapa rumah sakit jiwa telah mempersiapkan diri dalam hal fasilitas dan pelayanannya sebagai langkah antisipatif untuk memberikan pertolongan kepada para caleg yang mengalami gangguan kejiwaan atau stress karena gagal terpilih. Langkah antisipasi ini memang banyak ditanggapi sinis atau dianggap mengada-ada. Benarkah demikian adanya? Diperlukan langkah antisipatif tersebut, karena satu alasan sederhana saja bahwa para caleg juga adalah manusia biasa. Sebagai manusia para caleg sangat rentan mengalami stres. Stres adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan harapan, kebutuhan dan tujuan individu atau justru yang sangat menyenangkan dan datang tiba-tiba sebagai kejutan dan biasanya menyertakan reaksi psikofisik spesifik.
Ada beberapa jenis stress yaitu pertama: eustres yang merupakan kejadian yang menyenangkan dan sering tidak terduga tetapi tetap membuat manusia memberi respon spesifik misalnya hilangnya nafsu makan, semangat berlebihan, tidak bisa tidur, tetapi setelah waktu relatif singkat kembali pada kondisi awal. Kedua, distress yaitu kejadian atau situasi tidak menyenangkan karena situasi yang dihadapi jauh dari harapan, keinginan dan kebutuhan. Dalam perspektif dua jenis stres ini, maka jika terpilih ataupun tidak terpilih, para caleg sesungguhnya sangat potensial mengalami stres. Bagi yang terpilih tentunya akan merasa sangat senang, namun juga sekaligus menimbulkan kekuatiran apakah mereka cukup mampu mengemban tugas-tugas baru sebagai anggota legislatif dengan ekspektasi masyarakat yang tinggi. Sedangkan bagi para caleg yang tidak terpilih tentunya akan potensial mengalami distres yaitu perasaan malu, perasaan kalah dan gagal karena harapan, keinginan menjadi anggota dewan tidak terwujud.
Potensi stres dapat dirunut secara kronologis mengingat proses pencalegan memakan waktu yang cukup panjang, mulai dari pendaftaran, sosialisasi/kampanye hingga menanti hasil penghitungan suara yang berpotensi menimbulkan kelelahan dan ketegangan. Belum lagi yang terkait secara ekonomis finansial ketika para caleg mencari dukungan dana. Melalui kesaksian dan penuturan para caleg tak jarang mereka harus pontang-panting menyediakan dana dengan cara menggadaikan sertifikat tanah, menggadaikan perhiasan ataupun BPKB kendaraan, hingga berhutang kepada kerabat dan saudara-saudaranya.. Pendek kata mereka mengeluarkan modal sebesar-besarnya untuk proses pencalegan tersebut. Alhasil, terpilih atau tidak terpilih tentu dana itu harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman. Jika para caleg akhirnya terpilih maka tidak menjadi persoalan, karena gaji dan pendapatan sebagai anggota dewan perwakilan rakyat akan dipakai menggembalikan pinjaman. Akan tetapi jika tidak terpilih dapat dibayangkan betapa beratnya tekanan ekonomi untuk mengembalikan dana yang sudah dipinjam tersebut.
Peran Keluarga dan Gereja
Peran pihak keluarga para caleg sebagai komunitas pendamping terdekat sangat penting dalam mengantisipasi gangguan jiwa para caleg. Mereka perlu mempersiapkan diri dalam rangka mengantisipasi gangguan jiwa dengan cermat dan peka membaca tanda dan gejala-gejalanya. Sebab stres kehidupan yang tidak mampu diatasi dengan baik akan mempengaruhi keseimbangan fungsi mental individu. Individu mengalami ketegangan emosional, merasa tidak aman, tidak nyaman, terganggu keseimbangan psikofisik yang muncul pada berbagai keluhan fisik tanpa dasar gangguan organis yang relevan atau bahkan sulit untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial. Gangguan keseimbangan fungsi mental itu akan mempengaruhi kehidupan intrapsikis dan sosial individu. Reaksi terhadap stress mewujud dalam manifestasi tindakan dan perilaku agresi (misalnya: marah, mengamuk, dendam kesumat, jengkel berlanjut, menyerang orang lain (ekstra-agresi), atau melukai diri sendiri (intra-agresi). Juga bisa dalam bentuk depresi (misalnya: sedih, murung, menarik diri dari pergaulan, mengurung diri, tiba-tiba menjadi pendiam). Atau gejala apatis (misalnya: acuh tak acuh, tidak peduli dengan lingkungan, tidak mandi, tidak mengikuti aturan yang berlaku). Bahkan bisa jadi dalam bentuk regresi (bertingkah seperti anak kecil lagi, merengek-rengek, dalam artian seolah mundur dari taraf perkembangan terdahulu).
Maka langkah-langkah praktis, strategis dalam perspektif psikologis perlu disiapkan oleh pihak keluarga dan gereja para caleg. Dengan cara mengembangkan energi positif melalui perkataan yang meneguhkan (misalnya: setiap persoalan pasti ada jalan keluar, setiap rencana belum tentu tercapai). Dengan demikian para caleg yang tidak terpilih lebih fleksibel dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga bisa menikmati hidup. Mengembangkan sikap sportif bahwa dalam sebuah “pertandingan” selalu ada yang menang dan yang kalah. Para keluarga perlu mendorong dan mengajak anggota keluarganya yang menjadi caleg untuk menjaga kesehatan (misalnya: menjaga kesehatan, makanan yang bergizi, serta olah raga). Sebab kondisi fisik yang prima juga mempengaruhi daya tahan terhadap stres dan kesehatan jiwa. Para caleg juga perlu diajak untuk mengendalikan emosi, rehat sejenak, mengembangkan komunikasi terbuka dan meningkatkan rasa humor.
Sedangkan gereja perlu melakukan karya pastoral pendampingan yaitu mengembangkan kecerdasan spiritual dengan cara memformulasikan pertanyaan-pertanyaan eksistensial dalam kehidupan para caleg.. Karena dari deretan pertanyaan tersebut para caleg dapat memberikan jawaban sebagai parameter kecerdasan spiritualnya dan merefleksikan tujuan hidupnya kembali untuk tujuan apakah mereka mengerjakan semua itu. Gereja juga perlu melakukan konseling pastoral untuk memberi pendampingan kepada para jemaatnya yang men-calegkan dirinya. Gereja tidak boleh berdiam diri melainkan mengambil prakarsa nyata memberi arahan, petunjuk kepada para caleg tentang orientasi dan politik hati nurani serta etika politik bagi para caleg dalam menjalankan panggilan politiknya. Dari semua antisipasi tersebut diharapkan supaya pesta demokrasi tidak menimbulkan dampak destruktif bagi kesehatan jiwa para caleg, karena bagaimanapun dan apapun keadaannya para caleg juga adalah manusia biasa, sama seperti kita semua.
Trump Minta Negosiator Hamas Kembali ke Qatar, Lanjutkan Per...
DOHA, SATUHARAPAN.COM-Para pembantu Trump meminta Qatar untuk memanggil kembali para pemimpin Hamas ...