Loading...
DUNIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 11:51 WIB | Selasa, 30 April 2019

Pergantian Takhta di Jepang: Berakhirnya Era Heisei

Kaisar Akihito menaiki takhta Tenno Jepang pada 7 Januari 1989. (Foto: dw.com)

JEPANG, SATUHARAPAN.COM – Kaisar Akihito pada hari Selasa, 30 April, resmi turun takhta. Hal itu sudah ia putuskan dan umumkan sendiri sejak tahun lalu. Akihito akan digantikan anaknya, Naruhito, yang memulai era "Reiwa".

Ayahnya, Kaisar Hirohito, dikenal dunia sebagai kaisar yang memimpin Jepang memasuki Perang Dunia II melawan AS, dan akhirnya harus mengumumkan kapitulasi 15 Agustus 1945. Sebelumnya, AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang memusnahkan ratusan ribu orang.

Setelah kalah perang, Kaisar Akihito ingin membangun citra monarki seperti di Inggris. Takhta Kekaisaran tidak mencampuri lagi urusan pemerintahan sehari-hari, melainkan lebih berfungsi sebagai pemersatu dan tokoh bangsa.

Sejak kecil, Akihito dididik oleh seorang guru pribadi asal AS, Elisabeth Gray-Vining. Penulis buku cerita anak-anak inilah yang mengajarkan gagasan-gagasan monarki Eropa, terutama Inggris, kepada Akihito kecil. Mungkin berkat pendidikan ini, sang pangeran dan penerus takhta lalu tumbuh sebagaimana anak muda kalangan elite Barat pada usianya.

Sekalipun kalangan istana menentang, Akhito lalu menikahi Michiko, perempuan yang bukan berasal dari kalangan kerajaan. Akihito dan istrinya mendidik anak-anak mereka di rumah sendiri, lalu menyekolahkan kedua anak lelakinya ke universitas terkenal Oxford di Inggris.

Kaisar yang Dekat dengan Rakyat

Berbeda dengan ayahnya, Hirohito, yang dihormati sekaligus sangat disegani pejabat dan rakyat, Kaisar Akhito ingin tampil lebih dekat dengan warga. Beberapa bulan setelah menjabat, ia mengatakan: "Saya ingin, sama seperti kaisar-kaisar sebelum saya, melihat rakyat yang sejahtera, pada saat yang sama saya ingin kekaisaran yang sifatnya lebih cocok untuk masa kini."

Akihito dan Michiko jadi sering tampil ke publik dalam berbagai kesempatan, terutama ketika Jepang dilanda bencana. Ketika Jepang menghadapi bencana letusan gunung hebat tahun 1991, Akihito dan Michiko muncul menemui para korban dengan pakaian biasa dan santai. Hal itu sempat mengagetkan kalangan istana dan kaum konservatif, namun mengundang simpati banyak warga Jepang.

"Ini adalah perilaku yang baru dan ternyata disambut rakyat Jepang," kata pengamat kekaisaran Jepang, Hideya Kawanishi dari Universitas Nagoya. Kaisar Akihito akhirnya menjadi simbol persatuan dan perdamaian Jepang, sebuah era yang disebut Heisei, atau era "membangun perdamaian".

Mencari Kerukunan dengan Negara Tetangga

Nama Kaisar Hirohito melekat dengan sejarah Perang Dunia II dan kekejaman tentara Jepang pada masa itu. Akihito ingin mengubah citra itu dan mengunjungi negara-negara tetangga. Kunjungan luar negeri pertamanya ditujukan ke Indonesia dan China.

Karena terikat dengan formalitas, Kaisar Akhito tidak bisa meminta maaf secara resmi atas kejahatan-kejahatan Jepang yang terjadi selama Perang Dunia II. Tetapi dia memuji "kebudayaan tinggi" Indonesia dan China dan menyesali "agresi" Jepang, baik di China maupun di Indonesia.

Akihito juga bermaksud mengunjungi Korea Selatan, antara lain karena dinasti kekaisaran Jepang dan Kerajaan Korea Paekche dulu berasal dari satu rumpun. Namun, pemerintah konservatif Jepang di bawah pimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe tidak menyetujui rencana itu. Antara lain karena Korea Selatan masih menuntut permintaan maaf dari Pemerintah Jepang karena kasus prostitusi paksa perempuan-perempuan Korea pada masa invasi Jepang sebelum Perang Dunia II.

Sekarang, Kaisar Akihito turun takhta dan digantikan putranya, Naruhito, yang berjanji akan melanjutkan haluan yang telah dirintis orang tuanya. Masa kekuasaan Naruhito akan disebut era "Reiwa", artinya harmoni atau damai. (dw.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home