Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 11:44 WIB | Minggu, 24 Maret 2019

Pesan Tawa Hari Budiono dalam “Memedi Sawah”

Pesan Tawa Hari Budiono dalam “Memedi Sawah”
Pameran tunggal seniman-perupa Hari Budiono bertajuk “Memedi Sawah” berlangsung 23-30 Maret 2019 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pesan Tawa Hari Budiono dalam “Memedi Sawah”
Hari Budiono (bertopi) memberikan penjelasan karya kepada staf ahli KKP-RI Suseno Sukoyono (batik hijau-hitam) dan kolektor karya seni Oei Hong Djien saat pembukaan pameran, Sabtu (23/3) malam.
Pesan Tawa Hari Budiono dalam “Memedi Sawah”
Memedi Sawah – cat akrilik di atas kanvas – 185 cm x 465 cm – Hari Budiono – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah mempresentasikan karya-karyanya di Bentara Budaya Jakarta pada 14 – 23 Februari 2019, Bentara Budaya Bali (2-9 Maret 2019), dan Bentara Budaya “Balai Soedjatmoko” Solo (14-20 Maret 2019), seniman-perupa Hari Budiono mempresentasikan karya-karya Memedi Sawah-nya di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Jalan Suroto No 2 Yogyakarta.

Pameran tunggal Hari Budiono bertajuk “Memedi Sawah” seri terakhir berlangsung 23-30 Maret 2019. di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No.  2 Yogyakarta.

Pameran dibuka oleh staf ahli bidang Ekonomi Sosial dan Budaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Suseno Sukoyono, mewakili Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang berhalangan hadir, Sabtu (23/3) malam.

Dalam sambutan pembuka, budayawan GP Sindhunata menyinggung relevansi karya-karya Hari Budiono dalam konteks berbangsa hari ini yang diliputi ketakutan dalam berbagai ranah kehidupan.

“Janganlah kita kalah dengan ketakutan-ketakutan. Marilah kita menjadi manusia-manusia, bangsa yang tertawa untuk mengalahkan ketakutan yang melanda kita. Memedi sawah yang biasanya ada membantu para petani mengusir hama burung yang merusak tanaman padi, sekarang banyak berkeliaran dalam bentuk-rupa apa pun di tengah-tengah kita dan menakut-nakuti," kata Sindhunata dalam sambutannya. 

"Ini bisa kita jumpai dalam bentuk apa pun mulai dari teror, hasutan, politik yang memecah-belah. Semoga dengan tertawa semuanya (rasa  ketakutan) bisa terusir. Itulah watak bangsa Indonesia, kita adalah orang yang ramah. Kita tidak takut pada apa pun terlebih dalam kebersamaan. Bersama-sama menyukuri negeri yang indah ini,” Sindhunata menambahkan.

Seratus memedi sawah dengan masing-masing lukisan wajah yang tersenyum menjadi pembacaan Hari Budiono atas realitas bangsa Indonesia hari ini. Selain sebagai respons psikologis terhadap humor dan tindakan untuk membagi perasaan tertentu, tertawa bisa merupakan ekspresi lega setelah menghadapi tekanan, keadaan ekstrem tertentu, atau bahkan kondisi berbahaya. Pada keseratus memedi sawah itulah Hari Budiono menyertakan lukisan ekspresi tawa dari tokoh masyarakat, artis-seniman, hingga masyarakat kebanyakan.

Memedi Sawah dimaknai Hari Budiono sebagai simbol teror dalam kondisi kontemporer negeri ini. Memedi atau orang-orangan sawah yang mulanya berfungsi sebagai penghalau hewan hama yang mengganggu tanaman dalam metafora Hari Budiono, hari ini telah berubah wujud dimana si penjagalah yang menjadi pengganggu dalam suatu lingkungannya.

Memedi Sawah menjadikan kita saling curiga, saling membenci, saling tak menghargai, selalu merasa menang dan benar sendiri, sehingga kita menjadi manusia intoleran. Inilah fenomena bangsa kita hari-hari ini,” ujar Hari Budiono saat pembukaan pameran, Sabtu (23/3) malam.

Dalam karya instalasi berjudul “Jangan Takut Memedi Sawah” yang terdiri atas 15 memedi sawah, pada tujuh memedi sawah, Hari Budiono menggantungkan bait pertama lagu karya Ismail Marzuki berjudul Ibu Pertiwi. Tanpa ilustrasi wajah, bait-bait lagu Ibu Pertiwi menjadi narasi atas kesedihan memedi sawah menyaksikan karut-marut yang terjadi atas ketidakadilan eksploitasi sumberdaya alam yang merugikan masyarakat dan lingkungannya. Sementara pada delapan memedi sawah lain Hari Budiono menggantungkan bait kedua lagu Ibu Pertiwi. Ada harapan di balik ketakutan dan kecemasan Ibu Pertiwi yang dikuatkan dengan sambutan senyum-tawa seratus wajah di sekelilingnya.

“Ketakutan sosial hanya bisa dikalahkan dengan tertawa bersama-sama. Ketakutan itu memecah-belah, sedangkan tertawa itu menyatukan,” ungkap Sindhunata.

Sebelas karya lukisan dalam berbagai dimensi melengkapi 115 memedi sawah dipresentasikan Hari Budiono dalam berbagai tema dan isu. Pada lukisan berjudul “Warna-warni Ayam Nagari” puluhan anak ayam (day old chicken) dalam warna-warni melengkapi dua ayam jantan yang siap bertarung, menjadi kritik Hari atas terancamnya keberagaman pada bangsa Indonesia oleh ambisi-kekuasaan.

Begitupun pada karya berjudul “Panggung Sandiwara” dengan 17 ekspresi wajah manusia yang bisa menopengi dirinya. Ambisi politik dan kekuasaan kerap menempatkan manusia dalam panggung sandiwara kepalsuan demi mewujudkan ambisinya. Isu-tema kritik sosial terekam pula dalam karya Hari Budiono berjudul “Dasamuka”, “Menggantung Cemas”, “Meletus Balon Hijau. Dor!”.

“Lukisan berjudul Memedi Sawah hanya dipamerkan di BBY. Pada tiga pameran sebelumnya masih dalam progres penyelesaian,” jelas Hari Budiono kepada satuharapan.com di sela-sela pembukaan pameran.

Karya terbaru Hari Budiono berjudul “Memedi Sawah” yang menjadi tema pameran di empat Bentara Budaya menjadi sajian khusus penutup pameran tunggal “Memedi Sawah” di Bentara Budaya Yogyakarta. Lukisan dalam citraan monochrome dengan lanskap bangunan-bangunan sebuah kota yang muram dan sepi dari penghuninya menjadi dramatis manakala Hari Budiono melengkapinya dengan tiga figur besar memedi sawah. Tiga memedi sawah seolah berubah wujud menjadi memedi kota.

Dan, tiga memedi itu tertawa.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home