Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 21:51 WIB | Kamis, 07 Desember 2017

PGI Tidak Setuju Yerusalem Ibu Kota Israel

Warga Palestina di Kota Gaza Kamis (/12) membakar poster Presiden Donald Trump dan bendera Amerika, dalam demonstrasi menentang keputusan AS yang akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (AP Photo / Khalil Hamra)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tidak menyetujui keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J. Trump yang mengakui  penetapan sepihak oleh Israel yang menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mengabaikan jalan damai untuk menyelesaikan status Yerusalem dalam skema dua negara (Israel dan Palestina) yang sejajar. 
 
"Selain menabrak jalan damai tersebut, pengakuan ini dikuatirkan akan memicu eskalasi konflik baik di Timur Tengah maupun di negara-negara lain, apalagi bila pengakuan ini diikuti dengan pemindahan Kantor Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem," demikian Pernyataan Sikap PGI terkait Status Yerusalem, di Jakarta, hari Kamis (7/12).
 
Pernyataan sikap PGI itu ditandatangani atas nama Majelis Pekerja Harian PGI oleh Ketua Umum, Pdt. Dr. Henriette T. H. Lebang dan Sekretaris Umum Pdt. Gomar Gultom di Jakarta.
 
Pemerintah AS, di bawah Presiden Donald J. Trump, sebelumnya mengumumkan pengakuaannya atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, pada hari Rabu, 6 Desember 2017.
 
Menurut PGI, pengakuan Presiden Trump tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap perjalanan panjang gereja-gereja dan masyarakat dunia untuk penyelesaian konflik Palestina dengan solusi dua negara, Israel dan Palestina, yang berdiri secara damai. 
 
"Penyelesaian menyeluruh sedemikian sesungguhnya mengharuskan status Yerusalem diselesaikan dalam dialog konstruktif yang mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan kedua belah pihak, yakni Israel dan Palestina," katanya.
 
PGI mencermati perkembangan dalam konteks ini pergumulan panjang gereja-gereja dan masyarakat dunia untuk mendorong perdamaian di Timur Tengah, khususnya perdamaian Israel-Palestina. Yerusalem merupakan rumah bersama (oikoumene) dan kota yang memiliki tempat dan sejarah tersendiri bagi tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam, yang mendasarkan imannya pada Tuhan Abraham. 
 
"Yerusalem juga telah lama menjadi bagian dari sejarah bersama Israel-Palestina, bahkan juga bagi bangsa-bangsa di Timur Tengah dan dunia," katanya.
 
PGI memandang bahwa status Yerusalem bukanlah soal konflik agama, melainkan soal mengelola hidup bersama melalui skema jalan damai yang berkeadilan bagi semua pihak, khususnya Israel dan Palestina. Jalan damai sedemikian juga menjadi pergumulan yang terus diperjuangkan gereja-gereja di Indonesia dengan mendorong kerjasama dan perdamaian, sebagaimana ditegaskan dalam Dokumen Keesaan Gereja: “Berpangkal pada keyakinan bahwa 'Tuhan itu Baik Kepada Semua Orang' (Mzm 149:9a)….maka gereja-gereja mengajak berbagai kelompok agama dan kepercayaan lain, serta semua orang yang berkehendak baik, untuk bekerjasama agar Tuhan sendiri mengangkat kita dari samudera raya.”
 
PGI mendorong gereja-gereja untuk terus menempatkan status Yerusalem dalam skema jalan damai dua negara demi perdamaian dan keadilan bagi Israel dan Palestina. 
 
"Olehnya, PGI berharap, Yerusalem tidak serta-merta diklaim sebagai ibu kota oleh negara mana pun," katanya.
 
Dalam pernyataan sikap tersebut, PGI mengimbau masyarakat Indonesia agar status Yerusalem tidak diletakkan dalam sentimen agama, apalagi dikapitalisasi untuk kontestasi politik yang akan bergulir tahun 2018.
 
"PGI mengimbau pemerintah Indonesia agar dalam merespons maupun mengambil langkah-langkah diplomatik terkait isu ini selalu memperhatikan skema jalan damai di mana Israel dan Palestina diletakkan sebagai dua negara yang sejajar," katanya.

 

Editor : Melki Pangaribuan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home