Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 14:57 WIB | Jumat, 08 Januari 2016

Selamat Tinggal Golkar?

SATUHARAPAN.COM – Kekacauan dan konflik di dalam tubuh Partai Golkar makin parah, terutama ketika muncul gagasan untuk diselenggarakan musyawarah nasional sebagai jalan mengakhiri konflik dan pergantian pengurus Fraksi Golkar oleh Setya Novanto yang menjabat Ketua Fraksi setelah ‘’dipaksa’’ mundur dalam kasus pelanggaran kode etik DPR.

Konflik ini terutama makin tajam antara kelompok pro Munas Ancol yang memilih Agung Laksono sebagai Ketua Umum dan Munas Bali yang memilih Aburizal Bakrie. Akibat perpecahan ini, Golkar mengalami kemerosotan tajam dalam kinerja pada pemilihan kepala daerah Desember lalu.

Banyak pihak memprediksi, jika tidak bisa menyelesaikan masalah internalnya, Golkar akan terus merosot pada Pilkada tahun 2017 dan pemilihan parlemen pada 2019 mendatang, serta kinerjanya di parlemen akan memburuk. Bahkan situasi ini akan berdampak pada Koalisi Merah Putih, di mana Gorkar kubu Aburizal Bakrie bergabung.

Jalur Hukum atau Politik?

Partai Golkar sebagai organisasi politik dalam kasus ini memang agak ‘’aneh’’ ketika memilih jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa internalnya. Ini memang jalan yang dipilih kubu Aburizal Bakrie, karena menganggap pihaknya yang legal dan sah. Sementara anggaran dasar partai sebagai konstitusi organisasi politik ini sebenarnya menyediakan jalan penyelesaian, yaitu musyawarah nasional.

Partai politik semestinya mempunyai budaya menyelesaikan masalah internalnya secara politik, karena itu adalah DNA (Deoxyribonucleic Acid)-nya partai. Proses politik adalah watak partai, terutama dalam dinamika internalnya. Proses ini adalah dialog dan negosiasi yang fokus pada kepentingan partai. Ketika proses ini ditinggalkan, dan kepentingan partai diabaikan, maka partai ini bisa dikatakan menderita ‘’penyakit’’ yang serius, karena kehilangan roh sebagai organisasi politik.

Proses dialog dan negosiasi itu semestinya ada di musyawarah nasional yang keputusannya bisa diterima oleh dua kelompok. Akan beda hasilnya jika yang ditempuh tetap jalur hukum yang diarahkan untuk menetapkan yang satu legal dan yang lain ilegal. Sebab, hasilnya akan membuat salah satu di ‘’luar’’ kepengurusan Golar, yang berarti didorong ke ambang ‘’keluar’’ dari Golkar.

Namun demikian, pilihan proses penyelesaian itu bergantung sepenuhnya pada, terutama, elite partai Golkar. Proses penyelesaian secara politik tetap terbuka, tetapi proses penyelesaian secara hukum juga dimungkinkan dan bukan hal yang ilegal. Namun konsekuensinya jelas sangat berbeda.

Sikap Rakyat

Dalam situasi seperti ini apa sikap yang sebaiknya diambil rakyat? Rakyat yang bukan pendukung Golkar bisa saja kurang peduli dengan situasi ini, tetapi merosotnya kinerja anggota Dewan dari Golkar bisa menjadi masalah yang serius bagi bangsa ini. Apalagi Dewan dalam setahun lebih ini kinerjanya begitu buruk.

Di sisi lain, rakyat bisa saja memberi kesempatan secara luas bagi elite Golkar mencari jalan penyelesaian mereka. Juga tidak perlu menuding pihak luar sebagai intervensi memperkeruh konflik, karena aktor uatam tetaplah mereka yang berada di dalam tubuh Golkar, baik untuk makin mengeruhkan atau untuk menjernihkan masalah.

Justru bagi rakyat, kasus harus menjadi pembelajaran politik yang penting untuk melihat partai politik dari budaya organisasi mereka, khususnya dalam menyelesaikan masalah internal. Sebab, partai yang tidak bisa menyelesaikan masalahnya juga tidak pantas diberi amanat untuk menyuarakan kepentingan rakyat, apalagi menyelesaikan masalah rakyat. Naif sekali jika apsirasi di kalangan terdekat saja diabaikan, lalu mengharapkan apirasi rakyat yang ‘’jauh’’ untuk diperjuangkan.

Lagipula, apa yang terjadi di internal partai biarkan menjadi proses seleksi secara alamiah bagi parpol di Indonesia. Partai yang bubar karena gagal oleh budaya politik yang buruk tidak harus disesali. Sebaliknya bangsa ini harus menyesali jika memberikan dukungan terus-menerus pada partai dengan budaya politik buruk.

Jadi, tidak masalah jika kita harus mengucapkan ‘’selamat tinggal Golkar,’’ karena pilihan mereka menjauh dari harapan rakyat. Dan itu bisa terjadi sekalipun Golkar yang Pemilu 2014 meraup hampir 18,5 juta suara dan menjadi kekuatan kedua di parlemen. Dan hal itu baik jika juga berarti ‘’Selamat datang bagi budaya politik yang sehat pada partai yang masih bertahan.’’ 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home