Loading...
BUDAYA
Penulis: Reporter Satuharapan 13:33 WIB | Selasa, 20 Februari 2018

Suka Cita dan Haru Sambut “Black Panther” di Afrika

Lupita Nyong'o, salah satu pemeran Black Panther dalam salah satu adegan. (Foto: collider.com)

JOHANNESBURG, SATUHARAPAN.COM – Film Black Panther yang mulai tayang di layar perak di Afrika, adalah tamparan keras terhadap komentar tidak menyenangkan yang dilontarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap benua itu.

Ketika karpet merah di Afrika Selatan bertaburan kostum-kostum memesona dan penggunaan bahasa setempat isiXhosa dalam film yang mengambil latar belakang Kerajaan Wakanda, salah seorang pemeran, John Kani menertawakan pandangan Presiden AS itu. Beberapa negara Afrika telah secara terbuka mencela pernyataan Presiden Trump, yang dilaporkan pernah menghina Haiti dan Afrika.

Aktor Afrika Selatan, Kani, seperti tamu-tamu lain dalam malam pemutaran perdana di Johannesburg, tidak bisa menyembunyikan rasa bangga terhadap masyarakat Afrika masa depan, yang merayakan budaya tradisional dan mimpi-mimpi yang bisa diraih oleh benua dengan penduduk terbanyak kedua di dunia.

“Kali ini matahari bersinar di Afrika,” kata dia, “Film ini muncul tepat waktu. Kami bersusah payah berjuang menemukan para pemimpin yang menjadi teladan... jadi bila Anda menonton Black Panther sebagai anak muda dan dia membuka topengnya, Anda akan berpikir, ‘Ya Tuhan, dia seperti saya. Dia orang Afrika dan saya juga. Sekarang kami bisa mengagumi beberapa orang yang kebetulan orang Afrika’.”

Film itu sudah tayang di negara-negara kekuatan ekonomi di seluruh Afrika. Warga kelas menengah di negara-negara tersebut memenuhi berbagai teater IMAX dan membagikan gambar-gambar acara penayangan perdana di media sosial.

Tradisi dan Budaya vs Modernisasi

Black Panther mulai tayang beberapa hari lalu di Kisumu, kota di barat Kenya, di mana ayah Nyong'o menjabat sebagai gubernur.

“Kadang kita berpikir bahwa kita punya dua pilihan di Afrika,” tulis dia di koran The Star bulan ini. “Pilihan pertama: Kita mempertahankan tradisi dan budaya dan terus terbelakang. Pilihan kedua: kita memodernisasi dengan menjadi kebaratan dan melupakan budaya tradisi, yang menurut kita terjebak di masa lalu. Pengalaman warga Wakanda mengajarkan kita sebaliknya.”

Di Ibu Kota Ethiopia, Addis Ababa, tiket Black Panther terjual habis untuk lima kali sehari jadwal penayangan di satu-satunya bioskop di kota itu.

Beberapa penggemar Ethiopia dengan cepat mengubah gambar profil Facebook dan menggambarkan kekaguman mereka.

“Air mata saya menetes ketika saya menulis ini,” kata salah satu pengguna Facebook yang bernama LadyRock Maranatha. “Black Panther pada dasarnya adalah luapan berbagai emosi, petualangan, dan terutama penegasan atas apa yang saya rasakan, sejak saya meninggalkan negara saya untuk pergi ke Cambridge dan kembali. Saya menangis untuk rakyat saya dan merasakan kebanggaan luar biasa sebagai orang Ethiopia dan paling penting, sebagai orang Afrika. Kami adalah orang-orang yang ulet dan elok.”

Ada juga beberapa yang mempertimbangkan sisi Amerika dari cerita itu. “Seorang Afrika-Amerika kembali ke Afrika. Ini adalah pengingat yang bagus akan warisan mereka,” kata Ayanda Sidzatane. Dia menyebut film itu hebat. “Kita tahu filmnya bakal keren, tapi tidak seperti ini.” (voaindonesia.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home