Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 12:42 WIB | Rabu, 11 September 2019

Suku-suku Asli Brasil Bersatu demi Selamatkan Hutan Amazon

Suku-suku adat di wilayah hutan Amazon mengesampingkan perseteruan dengan musuh lama untuk melawan kebijakan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro. (Foto: ozy.com/Getty Images)

BRASIL, SATUHARAPAN.COM – Di sebuah kawasan adat di Negara Bagian Para di sisi selatan Brasil, suku-suku di hutan Amazon yang saling bermusuhan kini berbagi dan menyantap ikan bakar bersama.

Mereka, dalam laporan yang ditulis João Fellet untuk BBC Brasil, menanggalkan pertempuran masa lalu yang hampir menyebabkan kepunahan beberapa suku.

Komunitas lokal itu kini menatap tujuan bersama yang lebih besar: menentang kebijakan Pemerintah Brasil terhadap Amazon yang mengancam kehidupan mereka.

Forum itu semacam Majelis Umum PBB untuk masyarakat Xingu, sekelompok suku asli dari beberapa etnis yang tinggal di dekat Sungai Xingu.

Pertemuan selama tiga hari tersebut berlangsung di Desa Kubenkokre yang berstatus tanah milik Kayapó.

Selain perwakilan dari 14 kelompok etnis, pertemuan itu juga dihadiri delegasi dari empat komunitas lokal yang tinggal di sepanjang Sungai Xingu.

Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, sebelumnya berjanji membatalkan peraturan lingkungan yang mendorong ekstraksi mineral dan pertanian di kawasan hutan lindung, termasuk tanah adat.

“Sekarang kami hanya memiliki satu musuh, yaitu Pemerintah Brasil, presiden Brasil, dan penjajah non-pribumi,” kata salah satu pemimpin suku, Mudjire Kayapo, kepada BBC.

“Kami punya persoalan di antara suku, tapi kami bersatu melawan pemerintahan ini.”

“Jangan ulangi perpecahan masa lampau. Mari bersatu sejak saat ini juga,” ujar pemimpin suku lainnya, Kadkure Kayapo.

Ancaman terhadap Alam

Hampir 47.000 peristiwa kebakaran terjadi di Amazon di wilayah Brasil tahun 2019. Catatan berbasis data satelit itu dihimpun Badan Antariksa Negara Brasil, Inpe.

Angka tersebut mencapai 51 persen dari seluruh kebakaran yang terjadi di Brasil tahun ini.

Agustus 2019 merupakan momen terburuk bagi Amazon sejak 2010. Setidaknya 31.000 kebakaran terjadi pada periode itu. Angka tersebut tiga kali lipat dari bulan yang sama pada 2018.

Para aktivis lingkungan menyalahkan kebijakan Jair Bolsonaro. Mereka menuding presiden mendorong peternak membersihkan petak-petak besar hutan sejak ia terpilih.

Pada sisi lain, Bolsonaro menyalahkan “berita palsu” atas kemarahan yang meluas setelah kebakaran itu. Dia memecat pemimpin Inpe dan mempertanyakan data ilmiah yang dikumpulkan oleh lembaga itu.

Komunitas suku Amazon prihatin atas rencana pemerintah mengizinkan pertambangan di tanah adat. Bolsonaro menganggap program itu sebagai prioritas, meski pelaksanaannya masih perlu disetujui parlemen.

Pertambangan merupakan aktivitas terlarang di kawasan suku asli. Namun, gambar satelit menunjukkan penambang ilegal makin giat beraktivitas di sana sejak Januari lalu.

Pada saat yang sama, badan lingkungan Brasil, Ibama, melonggarkan penegakan hukum. Jumlah denda yang mereka jatuhkan untuk kejahatan lingkungan turun 29 persen dalam setahun terakhir.

Dalam wawancara dengan BBC, Menteri Lingkungan Hidup Brasil, Ricardo Salles, membantah penurunan jumlah denda merupakan indikasi lemahnya penegakan hukum.

Penambangan

Beberapa suku mendukung pertambangan di tanah mereka karena prospek royalti. Tapi, mereka tak diundang ke pertemuan komunitas lokal, keputusan yang dikecam beberapa perwakilan.

“Kami hanya memiliki kerabat yang berjuang untuk lingkungan, untuk tanah dan air. Tidak ada famili yang menginginkan agribisnis atau pertambangan di desa-desa,” kata Oe Kayapo, wakil dari Asosiasi Hutan Lindung.

“Apakah kita hanya akan berdebat di antara kita sendiri? Apakah kita akan terus berjuang untuk pelestarian wilayah, sementara yang lain berjuang agar memiliki pertambangan dan pertanian?”

“Situasi ini melemahkan kita. Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini,” ujarnya.

Selama forum suku asli, para pemimpin membahas alternatif ekonomi yang tidak berujung penebangan pohon.

Mereka berbagi pengalaman sukses dan tantangan dalam meraih pendapatan melalui produksi kerajinan tangan dan jual-beli buah lokal.

Mengatasi Persaingan Lama

Perdebatan dibahas dalam Kayapo, sebuah bahasa yang dapat dipahami banyak kelompok etnis. Mereka memiliki akar bahasa yang sama.

Kelompok etnis ini juga menguasai bahasa Portugis, bahasa kedua mereka.

Pidato yang paling berkesan di kalangan peserta forum disampaikan Bepto Xikrin, pemimpin Trincheira Bacaja, di Negara Bagian Para.

Xikrin berkata, sekitar 400 penambang dan penebang telah beraktivitas secara ilegal di wilayah mereka sejak awal 2019.

Kepala kelompok Bacaja itu menuturkan, masyarakatnya takut dan tak tahu harus berbuat apa.

Menanggapi pidato itu, dua kepala suku Kayapo berdiri lalu bersumpah mengirim prajurit untuk mengusir penjajah. Janji itu disambut riuh rendah oleh semua peserta forum.

Pada hari terakhir pertemuan, muncul momen simbolik lain ketika Kayapo mengundang perwakilan orang-orang Panara, musuh lama kelompoknya, untuk menampilkan lagu dan tarian tradisional.

Dengan tubuh berhias cat yang diekstraksi dari buah tropis, keempat perwakilan Panara bernyanyi. Mereka mendapat tepuk tangan hangat dari Kayapo.

Sebagian orang menganggap peristiwa itu sebagai pertanda perseteruan lama di antara kelompok-kelompok itu telah berakhir.

Selamat dari Kepunahan

Menurut catatan sejarah, dua kelompok suku itu pertama kali berperang tahun 1922. Pada 1968, Kayapo disebut membantai seluruh penghuni Desa Panara.

Kelangsungan hidup suku Panara semakin berisiko ketika pada dekade 1970-an, pemerintah meresmikan BR-163, jalan raya penghubung kawasan utara dan selatan Brasil.

Jalan raya itu adalah salah satu siasat rezim militer Brasil untuk mengintegrasikan penghuni Amazon dengan komunitas masyarakat lain.

Dengan jumlah anggota suku yang makin menipis dan di tengah serangan kelaparan serta penyakit, sekitar 200 orang yang selamat dari Panara dipindahkan ke selatan, ke Taman Adat Xingu.

Pada tahun 1997, komunitas suku Panaras kembali ke tanah asalnya di sepanjang jalan raya BR-163.

Sejak diberikan hak atas hutan lindung, populasi komunitas itu berlipat tiga kali dari periode sebelumnya.

“Kami membunuh Kayape, Kayape membunuh kami, kami bertarung dengan Kayabi.”

“Tapi kami tidak tahu tentang ancaman yang datang dari orang kulit putih,” kata pemimpin Panara, Sinku Panara, kepada BBC melalui seorang penerjemah.

“Jadi kami mendinginkan kepala. Kami berdamai, berbicara satu sama lain dan tidak akan bertarung lagi.”

“Ada kepentingan yang perlu diperjuangkan bersama agar orang-orang non-pribumi tidak membunuh kami semua,” ujarnya. (bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home