Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:53 WIB | Senin, 20 Februari 2017

UGM Perguruan Tinggi Peduli Difabel

Ilustrasi: Muhammad Karim Amrullah dan Mukhanif Yasin mahasiswa Fakultas Hukum UGM penyandang difabel, namun selalu bepretasi di bidang akademik. Bahkan salah satu di antaranya pernah mewakili UGM dalam pertemuan di tingkat internasional. (Foto: ugm.ac.id)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebagai perguruan tinggi peduli difabel Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 2015 sudah membuka lebar dalam persyaratan menjadi mahasiswa baru bagi difabel. Namun demikian, beberapa program studi eksakta belum dapat sepenuhnya menerima mahasiswa difabel, karena untuk praktik lapangan dan praktik di laboratorium mahasiswa difabel banyak mengalami kendala.

Demikian disampaikan Budi Guntoro SPt MSc, PhD, Wakil Dekan Fakultas Peternakan UGM, dalam Seminar bertema "Mewujudkan Aksesibilitas dan Layanan bagi Difabel Menuju Terbentuknya Perguruan Tinggi Inklusif" di Grha Sabha Pramana, Jumat (17/2) yang dilansir situs ugm.ac.id.

Seminar digelar oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM, dengan menghadirkan pembicara sekaligus penyandang disabilitas, M Zulfikar Rahmat, MA PhD, kandidat doktor dari University of Manchester, Inggris.

"Beberapa fakultas pun saat ini sudah melonggarkan syarat bagi penyandang difabel untuk bisa kuliah di UGM. Fakultas Peternakan UGM sudah mulai menerima dan untuk bimbingan saya tangani langsung karena jika terjadi apa-apa biar lebih mudah," kata Budi Guntoro.

Menurut Budi Guntoro, fakultas-fakultas sebaiknya sedikit demi sedikit meningkatkan jumlah mahasiswa difabel. Sebab, dengan begitu para pengelola dan dosen-dosen akan semakin memiliki pengalaman dalam berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa penyandang keterbatasan fisik.

"Saya pun terkesan dengan Zulfikar berkat kerja keras, semangat, dan dalam kondisi keterbatasan meraih kesuksesan melebihi orang-orang normal. Siapa pun jika ulet dan memiliki motivasi tinggi pasti akan mampu meraih cita-citanya," katanya.

M Zulfikar Rahmat, sebagai penyandang disabilitas, tidak terlalu berharap muluk-muluk terhadap terbentuknya perguruan tinggi yang inklusif. Baginya memperbaiki pendidikan tingkat dasar yang mau menerima penyandang keterbatasan fisik sudah cukup.

"Masa kecil saya cukup menyakitkan, ketika banyak sekolah dasar menolak saya untuk bisa sekolah. Saya tidak bisa berjalan sempurna, tidak bisa bicara jelas, dan tidak bisa menulis. Baru setelah menghadap Wali Kota Semarang saya bisa sekolah di Al Azhar," kata Zulfikar.

Bersekolah SMA di Qatar, Zulfikar mengaku merasakan dunia pendidikan yang sangat berbeda. Ia tidak lagi dibuli dan diolok-olok sama teman-temannya, justru sebaliknya ia mendapatkan dukungan.

"Tidak ada lagi yang menertawakan saya, apalagi mengolok-olok sehingga nilai saya meningkat. Saya simpulkan secara teori kondisi pertemanan membawa dampak terhadap prestasi akademis seseorang," katanya.

Sementara itu, Mukhanif Yasin Yusuf, SS, selaku ketua panitia seminar, berharap kegiatan ini bisa memberikan gambaran tentang bagaimana menerima dan memfasilitasi difabel di perguruan tinggi untuk mewujudkan perguruan tinggi yang inklusif. Melalui pemaparan dari para narasumber diharapkan mengetuk banyak perguruan tinggi terbuka untuk kaum difabel.

Mukhanif mengatakan fasilitas untuk para difabel, yang bersifat fisik itu, seperti ramp, lift, dan lain-lain, dan secara nonfisik dengan menerima kaum difabel dengan baik.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home