Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 20:18 WIB | Senin, 21 Maret 2016

Bagai Gelombang, MEA Tak Pernah Tanya Kesiapan Kita

Dari kiri: Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PIKI bidang Hubungan Luar Negeri, Partogi Samosir, Kemudian, Ketua DPP PIKI bidang Kerja Sama Antar-Organisasi, Edy Siswoyo, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIPOL UKI, Sri Yunanto, dan Wakil Ketua Umum PIKI, Badikenita Putri, menjadi pembicara utama dalam FGD bertema ‘Asean Community: Strengthening State Capacity and Engaging Civil Society’, di Ruang Serbaguna FISIPOL UKI, Jakarta Timur, hari Senin (21/3). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bagaikan sebuah gelombang yang akan menghampiri daratan, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tidak perlu bertanya kesiapan Indonesia dalam menghadapi era integrasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tidak bisa menolak, Indonesia harus bergabung ke dalam MEA, walaupun belum siap.

Demikian disampaikan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (Ikom FISIPOL UKI), Chontina Siahaan, saat mengikuti focused group discussion (FGD) bertema ‘Asean Community: Strengthening State Capacity and Engaging Civil Society’ yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (P3M FISIPOL) UKI bersama Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI), di Ruang Serbaguna FISIPOL UKI, Jakarta Timur, hari Senin (21/3).

“Gelombang tidak pernah bertanya, hai kau yang di sana, sudah siap belum, saya mau datang. Sama seperti MEA, siap tidak siap, mau tidak mau, harus Indonesia hadapi MEA ini,” ucap Chontina.

Oleh karena itu, demi membangun kekuatan Indonesia dalam menghadapi MEA, dia menyarankan, Pemerintahan Presiden Joko Widodo menempuh tiga langkah. Pertama, membentuk badan sertifikasi profesional, mempersiapkan sumber daya manusia, dan melakukan bimbingan kesadaran pada masyarakat lewat suku dinas yang ada di pemerintahan daerah.

“Indonesia harus siap hadapi MEA,” kata Chontina.

Pesimis

Ungkapan pesimis pada MEA sempat disampaikan Ketua Prodi Ilmu Politik UKI, Ishbodroini Suyanto. Dia mengatakan terlalu banyak perbedaan di antara negara-negara anggota Asean, sehingga sulit  mengintegrasikan ekonominya.

Perbedaan-perbedaan itu, katanya, justru terletak pada tiga pilar MEA, yakni politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Negara-negara anggota Asean, menurutnya, lebih mementingkan kepentingan dalam negerinya masing-masing.

“Berbeda dengan Uni Eropa yang punya tingkat pendidikan lebih baik, kemudian lebih homogen, bahkan Uni Eropa dibentuk dari nilai yang hampir sama.

Perkuat Bhinneka Tunggal Ika

Sementara itu, untuk menghadapi MEA, Ketua DPP PIKI bidang Sosial dan Budaya, Woro Wahyuningtyas, menyarankan agar Indonesia memperkuat akarnya, yakni semangat Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, menurutnya, kondisi sosial dan budaya Indonesia yang beragam meruapakan salah satu kekuatan untuk bersaing di MEA.

“Negara anggota Asean lainnya masih belum punya keragaman sosial dan budaya seperti yang dimiliki Indonesia. Tapi masalahnya Indonesia sering telat untuk menyadarinya,” ucapnya.

Woro melanjutkan, Indonesia harus berani mengangkat kebudayaannya yang penuh dengan perdamaian. Indonesia harus berada di garis terdepan sebagai juru perdamaian.

Oleh karena itu, dia mengatakan kekristenan di Indonesia tidak boleh melakukan tindak kekerasan pada budaya. “Karena konflik bukan budaya Indonesia, konflik di Indonesia biasanya dilahirkan oleh agama atau budaya dari negara lain,” ucapnya.

Dimana Partai Politik?

Sementara itu, pemimpin redaksi SatuHarapan.com, Sabar Subekti, yang turut hadir dalam FGD itu sempat mempertanyakan peranan partai politik di masing-masing negara anggota Asean dalam MEA.

Menurutnya, partai politik mampu saling berkomunikasi melakukan upaya integrasi dan berdiskusi terkait peranan yang akan mereka ambil dalam MEA.

“Sayangnya, partai politik di Indonesia sibuk dengan masalah klasiknya. Seharusnya, mereka bisa berperan dalam membangun masyarakat,” ucap Sabar.

Dia pun menyayangkan, masalah keamanan nasional seperti jalur pelayaran internasional Selat Malaka, terorisme, hingga perederan narkotika dan obat terlarang, yang tidak mendapatkan fokus secara serius dalam MEA.

Peran Dunia Pendidikan

Di tempat yang sama, Dosen Prodi Hubungan Internasional UKI, Siti Merida, mengajak dunia pendidikan Tanah Air mengambil peranan dalam pengenalan MEA di lingkungan sekitarnya. Menurutnya, banyak civitas akademika yang belum memahami MEA hingga saat ini.

Menurutnya, kondisi itu telah membuat posisi Indonesia tertinggal jauh dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu, kata dia, telah memperkenalkan lambang-lambang dan membuka kursus bahasa negara yang menjadi anggota Asean.

“Kurikulum, misalnya UKI, punya fakultas ekonomi, seharusnya bisa membuat mata kuliah tentang ekonomi Asean,” kata Siti.

Dia juga berharap dunia pendidikan bisa bekerja sama dengan organisasi pelayanan Kristen, seperti PIKI, untuk meningkatkan keterampilan para pengusaha usaha kecil menengah (UKM). Sehingga, dunia usaha Tanah Air memiliki daya saing yang lebih baik dalam MEA

“Jangan perdebatkan lagi, kita sudah masuk MEA, sekarang waktunya mengambil langkah supaya bisa bersaing di MEA,” tutur Siti. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home