Loading...
OPINI
Penulis: Anil Dawan 01:25 WIB | Rabu, 05 April 2023

Jangan Pupuskan Asa Anak Bangsa: Hospitalitas dan Sportivitas

“Ketiadaan hospitality (keramah tamahan) akan menjadikan hostility (permusuhan). Jangan menolak sesamamu supaya engkau sendiri tidak ditolak, melainkan terimalah satu dengan yang lain, karena kitapun sudah diterima oleh DIA yang menerima kita apa adanya karena penerimaan adalah awal pemulihan relasi”
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Ketua Umum PSSI Erick Thohir (kedelapan kiri bawah) dan Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali (keenam kanan bawah) berfoto dengan pemain dan ofisial Timnas U-20 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (1/4/2023). ANTARA

SATUHARAPAN.COM - Mimpi anak bangsa di kancah sepakbola Indonesia pupus dan kembali berduka nestapa. Kali ini terjadi bukan karena peristiwa kerusuhan supporter yang menimpa seperti peristiwa memilukan di Kanjuruhan tahun silam yang membawa korban meninggalnya para supporter yang tak berdosa. Duka itu datang dari batalnya dan dicoretnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 karena sejumlah penolakan dari beberapa kalangan terhadap salah satu peserta piala dunia. FIFA sebagai badan penyelenggara perhelatan yang sudah memberikan peluang bagi Indonesia untuk melaksanakan perhelatan itu, membatalkannya. Gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 harus disikapi dengan jelas, tegas, empatik dan terukur. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab terhadap hilangnya peluang Indonesia menjadi penyelenggara? pupusnya harapan bibit-bibit muda generasi Garuda untuk berkiprah di kancah dunia? Bagaimana mendampingi mereka pasca batalnya kiprah mereka di Piala Dunia yang dicita-citakannya dalam proses penantian yang lama? Nampaknya terlalu mudah masalah diciptakan, tapi adakah yang berani membusungkan dada untuk membela dan mendampingi pilu, rasa kecewa, marah dan ketidaktahuan para pemain-pemain muda Indonesia U-20 yang riil menghadapinya?. Katimbang berdebat terus mencari tentang apa sebab musabab dari kegagalan menjadi tuan rumah piala dunia U20, dan mencari salah siapa yang menjadi penyebabnya. Kiranya patut kita renungkan tentang pentingnya untuk membangun nilai hospitalitas (keramah tamahan) dan sportivitas.

Belajar Hospitalitas

Sepak bola adalah salah satu cabang olahraga yang menjadi kebanggaan dan sekaligus hiburan warga. Jika suatu tim sepakbola berjaya, dan tampil di Piala Dunia maka warga negaranya akan turut bangga mendukung tim kesayangannya. Indonesia ditunjuk FIFA karena memenangkan bidding panjang yang diperjuangkan jauh-jauh hari sebelumnya. Mengapa Indonesia ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia? Tentunya ingin mengangkat sepakbola Indonesia dikancah dunia. Supaya dunia tahu bahwa kita bisa menjadi tuan rumah yang baik, penyelenggara yang sukses. Yang menarik bahwa bidding keputusan Indonesia menjadi tuan rumahpun sudah berjalan intens sejak beberapa tahun sebelumnya. Perhelatan FIFA di U-20 di Indonesia sudah diketahui oleh seluruh warga Indonesia, namun mengapa penolakan terhadap kehadiran salah satu peserta justru muncul jelang 2 (dua) bulan acara terselenggara?. Sejatinya ada banyak berkah yang mengikuti tatkala Tim U-20 Indonesia lolos ke Piala Dunia, karena Indonesia sebagai tuan rumah, bukan karena proses tahapan mengikuti turnamen pra-kualifikasi dan harus mengalahkan berbagai negara yang turut berkompetisi. Tim Indonesia bisa tampil di Piala Dunia karena sebagai tuan rumah. Syarat menjadi tuan rumah dan penyelenggara adalah memiliki sikap hospitalitas atau keramah tamahan. Sikap ramah tamah tersebut menunjukkan adanya kemurahan hati kepada tamu, pengunjung dan orang asing yang datang. Hospitalitas merupakan sikap hangat yang berasal dari bahasa latin yang memiliki akar kata “hospes” yang artinya tuan rumah. Lawan kata dari hospitalitas adalah hostility atau permusuhan. Oleh karenanya, tatkala penolakan muncul, maka dianggap bahwa hospitalitas sebagai tuan rumahpun tak dapat disajikan dan ditampilkan, hingga perhelatan dibatalkan? Ada apa gerangan?

Indonesia dan penduduknya dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah dan cinta damai. Indonesia dikenal dengan hospitalitasnya, keramahannya. Dimana semua orang dari berbagai dunia diterima dan merasa aman dan nyaman datang ke Indonesia. Ciri khas tuan rumah yang baik adalah memiliki hospitalitas dan keramah tamahan. Bukan sebaliknya hostility atau permusahan dan perlawanan. Apalagi dalam olahraga unsur kemanusiaan dan juga ramah tamah di junjung tinggi. Semua Olahraga, khususnya sepakbola bisa menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan kunci tentang kebenaran, keadilan, kesetaraan dan juga kemanusiaan dengan sikap yang ramah tamah terhadap tamu, pengunjung bahkan orang asing yang datang. Olahraga dan sepakbola juga jauh dari urusan politik praktis, ataupun dukung mendukung partisan, pro dan kontra. Dalam wawancara kepada anak-anak muda Indonesia, Tim U-20 Garuda dalam dirinya membuncah angan untuk bermain bola, dengan gembira, mengharumkan nama bangsa dan bangga sebagai bagian dari patriotisme yang ditunjukkannya dengan skill dan kemampuannya di olahraga. Mereka meyakini bahwa keramah tamahan sebagai penyelenggara seharusnya bisa ditampilkan siapapun juga, karena mereka meyakini bahwa nilai tertinggi dalam olahraga, sepakbola adalah hospitality (keramah tamahan) dan bukan hostility (permusuhan).

Mengembangkan Sportivitas

Dalam olahraga juga menjunjung nilai sportivitas yaitu sikap adil dan jujur, khususnya kepada lawan termasuk didalamnya adalah mengakui keunggulan lawan. Kejadian batalnya Indonesia sebagai tuan rumah piala Dunia U-20 menggambarkan kondisi ketidaksportivan tersebut. Bagaimana tidak? tatkala Indonesia didaulat menjadi tuan rumah, maka mau tidak mau penerimaan dan penyambutan terhadap seluruh peserta piala Dunia U-20 dari berbagai negara adalah mutlak. Pembelaan terhadap salah satu negara peserta, dan penolakan terhadap salah satu peserta menggambarkan bahwa keduanya terjadi tidak dalam lapangan pertandingan sepak bola. Melainkan diluar lapangan sepak bola melalui protes, statement atau pernyataan. Presiden Jokowi berujar bahwa urusan politik dan olahraga tidak boleh dicampuradukan. Waktu menonton wawancara dengan tim Sepak Bola U-20 yang diwawancarai di acara Rossi di Kompas, mereka mengatakan “Kami ingin mengalahkan tim yang ditolak itu di lapangan sepak bola” bukan di luar lapangan sepak bola. Pernyataan ini menyiratkan bahwa kerinduan sportivitas atau bermain fair play melandasi harapan dan perjuangan mereka untuk melakukan advokasi dan pembelaan kepada negara yang dibela. Tindakan ini jauh lebih sportif dan gentle daripada menyuarakan penolakan di luar lapangan sepak bola itu sendiri.

Kedepan pasti masih akan banyak perhelatan olahraga dunia yang akan digelar di Indonesia. Namun pertanyaan besar bagi kita sebagai warga Indonesia yang ramah, cinta damai dan sportif, adakah sikap hospitalitas itu sudah kita tunjukkan dalam kematangan diri sebagai tuan rumah yang ramah menerima tamu, pengunjung dan orang asing dengan baik? Mampukah kita juga bersikap sportif dan secara tegas menyatakan sikap pembelaan terhadap kemanusiaan, penghapusan terhadap kolonialisme, serta penghapusan terhadap segalah bentuk penjajahan diseluruh dunia, namun juga dengan cara-cara yang matang, bijaksana? Tidak mencampuradukkan kepentingan politis dan olahraga?. Kiranya semua berkaca, tak hanya lantang bicara, kiranya semua mencari solusi bukan malah saling silang beragumentasi. Jangan pupus asa anak bangsa, hadirkan hospitalitas dan sportivitas niscaya bangsa kita berjaya. Semoga.

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home