Loading...
EKONOMI
Penulis: Wim Goissler 22:50 WIB | Kamis, 10 Mei 2018

Dana Pensiun Belanda Dikecam karena Investasi Sawit di Papua

Brecht van Hulten, host program siaran televisi KASSA di Belanda (Foto: Ist)

AMSTERDAM, SATUHARAPAN.COM - Lembaga dana pensiun pemerintah Belanda, Stichting Pensioenfonds ABP atau biasa disebut ABP, mendapat kecaman dari sejumlah pesertanya karena perusahaan itu menanamkan investasi pada perusahaan yang selama ini dipandang telah turut dalam deforestasi hutan di Papua lewat perkebunan kelapa sawit.

Kecaman itu terungkap dalam sebuah program televisi yang populer di Belanda, KASSA, yang ditayangkan pada 5 Mei lalu.

Kassa (Cash Register) adalah program televisi konsumen yang diproduksi oleh VARA, yang dibuat oleh dan dipandu oleh Brecht van Hulten di Belanda. Program ini berfokus pada urusan konsumen, meninjau dan menguji produk, dan juga melakukan pelaporan investigatif mengenai masalah dengan produk atau layanan. 

Pada 5 Mei lalu, program ini menampilkan liputan yang antara lain mewawancarai sejumlah peserta Dana Pensiun ini, termasuk Raki Ap, putra dari Arnold Ap, antropolog legendaris Papua yang meninggal karena diduga dibunuh oleh aparat karena tuduhan terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Para narasumber tersebut melancarkan kecaman setelah mengetahui bahwa ABP berinvestasi di Poco Daewoo, salah satu perusahaan asal Korea Selatan yang beroperasi pada pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Papua.

Raki Ap, yang merupakan pegawai di Kementerian Dalam Negeri Belanda tetapi juga aktif di gerakan Free West Papua Belanda, mengatakan ia merasa ngeri mengetahui bahwa ABP berinvestasi di Posco Daewoo.

"Hutan-hutan tropis luas sedang dibabat. Dan itu tidak baik untuk orang-orang dan lingkungan di Papua. Investasi semacam ini hanya memastikan bahwa kekerasan dapat terus berlanjut," kata Raki Ap, yang dibawa oleh orang tuanya melarikan diri ke Belanda bersama  di tahun 1980-an. 

Pembabatan hutan di Papua, menurut Raki Ap, merupakan tindakan merebut tanah Orang Asli Papua (OAP) sekaligus mengambil hutannya. Selain akan mempersulit hidup OAP, pembabatan hutan, menurut dia, juga merupakan pelenyapan diam-diam identitas ke-Papua-an mereka.

Rowena Facee Schaffer, peserta Dana Pensiun yang sama, mengatakan investasi ABP di Papua sangat buruk.

"Investasi yang sangat buruk dan saya pikir itu keterlaluan," kata dia. Ironisnya, dirinya tidak memiliki pilihan dana pensiun lain karena merupakan pilihan wajib. ABP adalah dana pensiun bagi pegawai pemerintah Belanda dan lembaga yang terkait dengan pemerintah.

"Ada perusahaan multinasional besar seperti Unilever dan Nestle yang menggunakan minyak sawit di hampir semua produk mereka. Tapi setidaknya saya bisa memilih TIDAK untuk menggunakan produk tersebut. Dan saya kecewa karena saya tidak punya pilihan untuk pergi ke dana pensiun lain. Jika saya punya pilihan, saya tidak akan lagi menjadi klien ABP," kata dia.

Program televisi tersebut juga mewawancarai seorang wartawan Belanda, Leontien Aarnoudse, yang tampaknya sudah berkunjung ke Papua. Ia memberikan kesaksian tentang buruknya pembabatan hutan demi perkebunan kelapa sawit. Ia mengatakan perkebunan kelapa sawit perusahaan yang sedang disorot itu mempekerjakan sekitar 3.000 orang. 

"Pendeta setempat memberi tahu saya bahwa orang-orang datang terutama dari pulau-pulau lain seperti Jawa dan Flores. Dan bahwa penduduk setempat tidak atau hampir tidak mendapatkan manfaat dari pekerjaan. Saya mendapat gagasan bahwa ada suasana yang suram. Pendeta mengatakan kepada saya bahwa ada sekitar 20 pos pemeriksaan tentara dan pos militer di daerah itu saja. Saya juga berbicara dengan seorang pria yang membela hak tanahnya di komunitasnya. Dia sudah ditangkap empat kali," kata dia. 

Penangkapan dan intimidasi, kata dia, kerap terjadi oleh aparat keamanan.

Sementara itu, Fabian Kemps Verhage, salah seorang peserta dana pensiun ABP, juga melancarkan kecapan serupa. "Saya pikir itu tidak dapat diterima karena sudah lama dikenal. Bahwa berinvestasi, dalam jenis bisnis ini mengarah pada deforestasi hutan hujan. Jadi ABP harus berhenti dengan itu," kata dia.

Menanggapi kecaman dari sebagian peserta dana pensiunnya, ABP memberikan penjelasan tertulis kepada KASSA. ABP mengatakan pihaknya menanggapi serius sorotan terhadap investasi mereka di perusahaan kelapa sawit di Papua.

Dalam penjelasannya ABP mengatakan bahwa lembaga itu ingin menginvestasikan uang para peserta secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. "Banyak perusahaan yang sudah pandai dalam hal ini dan kami ingin berinvestasi di dalamnya, jika juga efisiensinya bagus. Tetapi ada juga perusahaan yang belum. Kami menanggapi kritik terhadap Posco Daewoo dengan serius dan kami mengambil tindakan," demikian penjelasan itu. 

Tindakan yang diambil, kata mereka, bukan secara langsung meninggalkan investasi tersebut, tetapi dengan terlebih dahulu menjadi investor yang penting. Dengan itu, ABP bisa membawa perbaikan. 

Dikatakan pula bahwa ABP menentang deforestasi skala besar, perampasan lahan dan  pelanggaran hak asasi manusia. "Sejak 2017, kami sedang mendiskusikan hal ini dengan Posco Daewoo. Kami melihat langkah-langkah tetapi sangat lambat.  Jika ternyata setelah beberapa tahun diskusi dan tekanan, tidak ada hasil...maka ABP akan berhenti dengan investasi tersebut."

Dikatakan lebih lanjut, pada tahun 2020, ABP hanya ingin berinvestasi di perusahaan yang menguntungkan dan yang menepati tanggung jawab perusahaan. "Posco Daewoo harus melewati tolak ukur baru kami," kata pernyataan itu.

ABP juga adalah pemegang saham Freeport McMoran Coopper and Gold Inc. Tahun lalu ABP termasuk dalam jajaran pemegang saham yang mengusulkan agar di jajaran dewan direksi Freeport diisi oleh paling tidak seorang yang memiliki pengalaman mengenai lingkungan. Usulan itu diajukan bersama pemegang saham lain, seperti New York City Pension Funds, General Board of Pension and Health Benefits of the United Methodist Church, dan sejumlah lembaga dana pensiun Swedia. Namun usulan tersebut tidak diterima.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home