Loading...
INSPIRASI
Penulis: Kris Hidayat 09:00 WIB | Rabu, 20 Desember 2017

Integritas adalah Segalanya

Sore itu saya meninggalkan ruang duka, tetapi Ibu Dorothy Marx telah menjadi guru saya, untuk memiliki integritas seorang murid Kristus.
RIP Dorothy Irene Marx (foto: Kris Hidayat)

SATUHARAPAN.COM – Sesorean saya bercengkerama di depan tubuh tua yang kini terbujur diam. Saya berusaha mengenang, mencari, dan mendapati pengalaman saya bersama Ibu Dorothy Marx. Saya tidak punya banyak catatan di kepala saya.

Saya mendapati teman lama dan koleganya datang karena sore ini akan dilangsungkan ibadah penghiburan dari alumni ITB, Perkantas Nasional, Scripture Union Indonesia. Mereka tidak hanya kehilangan guru etika mereka, tetapi juga kehilangan guru spiritual dan juga Sang Ibu terkasih. Mulailah saya mencatat nuansa yang satu demi satu muncul dari pembicaraan yang saya dengar di rumah duka ini.

Seorang muda agak keras menceritakan bahwa yang dia ingat adalah singkatan-singkatan ciptaan ibu Dorothy. Ini khas pengajaran Ibu Dorothy, dia menciptakan singkatan, seolah mahasiswa yang diajarnya adalah anak sekolah minggu yang perlu belajar moralitas melalui singkatan lucu yang diciptakannya. Kudis: Kurang Disiplin, Juplop: Maju dengan Amplop!

 

Mengenal Satu Demi Satu Muridnya

Lalu, di salah satu meja, yang sore itu cukup lengang, tiga orang ibu mengenang pertemuannya dengan Sang Guru. Seorang bercerita, ”Saya dimuridkan secara pribadi oleh ibu, saya datang ke rumah dan saya beruntung bisa mengenal Ibu dan mengenal Kristus.” Temanya yang duduk disebelah mengiyakan. Katanya, ”Ibu mengenal satu demi satu muridnya dan ibu mengenali secara unik.” ”Kita jadi disayangi secara unik, seolah mengenal kita... secara pribadi,” timpal yang lain.

Asih, demikian nama salah seorang ibu dari mereka, sebagai muridnya sangat beruntung bisa mengenal dan dikasihi ibu Dorothy. Baginya ibu Dorothy Marx lebih dari seorang ibu yang penuh kasih, mengenali, memercayai, mendukung, namun juga memberi spirit yang terus-menerus membentengi dalam pelayanan dan pekerjaan. Asih juga bercerita mengenai keinginan terakhirnya.

Bu Dorothy sangat mencintai murid-muridnya dan sangat senang mengajar, bahkan ingin meninggal ketika mengajar di kelas. Bagi banyak orang Ibu Dorothy seorang guru yang menginspirasi. Namun, bagi Asih, Ibu Dorothy seolah Sang Gembala yang memberikan diri dan tongkatnya ketika dia mendapati kesulitan. Sebagai murid di tingkat akhir, dengan skripsi yang tinggal dua bab, namun tetap didukung dan diberi solusi ketika dosen lain ingin merombak total skripsi yang ditulisnya.

Tidak hanya itu saja, ketika semua orang tidak memercayai perkataannya. Ibu Dorothy tetap memercayai pendirian Asih. Bahkan, ketika sakit dan hampir tak tertolong, Ibu Dorothy hadir.

 

Bersepeda Bersama

Ketika seminggu terakhir menunggui Ibu Dorothy di rumah sakit Premiere, Asih mendapati bahwa Sang Guru yang melemah. Seluruh badannya terhubung dengan peralatan life support, namun dia tetap berbicara dan merasakan gurunya mendengar dia bercerita. Bagi Asih ketika berdiam di dekat Sang Guru, semua pengalaman dan kata-kata Sang Guru terngiang mengalir, setiap peristiwa yang dialami bersama Sang Guru. Ketika memegang tangan Sang Guru, tangan yang melemah itu bergerak, merespons, dan bahkan menggenggam tangan Asih. Asih sangat beruntung seolah merasakan pelukan sang Guru.

Setiap sore Asih menyempatkan diri berkunjung, dia punya firasat yang mendorongnya tak ingin berpisah dengan Sang Guru. Hatinya selalu teringat pada keteduhan yang dia dapatkan bersama sang Guru. Dia ingin membahagiakan gurunya, menemani keinginan sang Guru kembali bersepeda, dan adu balap seperti dahulu. ”Mari Ibu, kita bersepeda bersama,” Asih membisikkan sesuatu yang menjadi kesukaan gurunya.

 

Integritas adalah Segala-galanya

Wejangan Ibu Dorothy bagaikan mengalir, ketika bersama dengan Sang Guru. Ketika, tubuh Sang Guru semakin dingin, tak kuasa air mata menetes. Keinginan terbesar dari Sang Guru adalah menjadi pribadi yang berintegritas, ”Asih, integritas adalah segala-galanya”.

Demikian pesan yang tidak hanya terngiang, namun Asih sadar, wejangan itu sering kali terdengar ketika dalam pelayanan dan pekerjaannya dia dihadapkan pada pilihan yang rumit menjadi murid Kristus atau menggadaikan etika moral.

Sore itu saya meninggalkan ruang duka, tetapi Ibu Dorothy Marx telah menjadi guru saya, untuk memiliki integritas seorang murid Kristus. Seperti singkatan-singkatan ciptaan yang diwariskan, seperti murid Asih yang berdiri terpaku di samping tubuh diam.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home