Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 16:11 WIB | Rabu, 22 April 2015

Kondisi Psikologis ABK Asing Benjina Mencemaskan

ABK WN Asing Benjima. Sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) WN Myanmar, Laos dan Kamboja yang bekerja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Maluku, Sabtu (4/4). Sebanyak 323 ABK diangkut menuju ke Tual dengan pengawalan KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Imigrasi. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Asep Burhanudin mencemaskan kondisi psikologis yang dialami Awak Buah Kapal (ABK) asing yang ditampung dari PT PBR di Benjina, Maluku.

“Kondisi riilnya, ABK dari Myanmar, Kamboja, Laos, mereka posisinya banyak yang stress,” kata Asep Burhanudin dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta, Rabu (22/4).

Menurut Asep, karena secara psikologis tertekan banyak pula ditemukan ABK yang berteriak-teriak. Ini membuat masyarakat yang tinggal di sekitar tempat penampungan ABK tersebut, juga menjadi terganggu.

Selain itu, ujar dia, beberapa waktu lalu telah ada delegasi Myanmar yang mendata jumlah warga negaranya dan diharapkan juga dapat mempercepat proses deportasi untuk dipulangkan ke negara mereka kembali.

Ia juga menyinggung terkait masalah pendanaan yang sempat kurang, tetapi bersyukur karena untuk alokasi pendanaan pada saat ini telah ditanggung oleh Organisasi Internasional Migrasi (IOM).

“Alhamdulillah 1-2 hari yang lalu sudah di-take over (diambil alih) oleh IOM,” ungkap Dirjen PSDKP KKP.

Sebagaimana diberitakan, kasus dugaan perbudakan di Benjina merupakan momentum bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh tenaga kerja maritim.

“Langkah strategis lain yang sangat mendesak dilakukan adalah mengidentifikasi lemahnya kebijakan perlindungan tenaga kerja sektor perikanan,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Senin (13/4).

Menurut dia, momentum itu dapat dilaksanakan dengan mendahulukan pembuatan aturan setingkat UU dan merevisi kebijakan yang ada, seperti UU No. 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan dan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) baru untuk mengatasi indikasi perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

“Kami sudah membentuk satgas, untuk mengatasi kasus Benjina. Satgas akan dipimpin oleh Polri dan mereka sedang menyusun keanggotaannya, setelah selesai mereka segera bekerja,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno seusai rapat koordinasi dengan beberapa menteri terkait masalah Benjina di gedung BPPT, Jakarta, Rabu (8/4).

Tedjo Edhy mengatakan setelah melakukan penyidikan, maka korban indikasi perbudakan segera dipulangkan ke negaranya masing-masing.

KKP Bertemu BKPM Bahas Perizinan PBR Benjina

Pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan bertemu dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di kantor BKPM di Jakarta, Rabu siang, untuk membahas perizinan PT PBR terkait dengan dugaan perbudakan di Benjina, Maluku.

“Sebagai respons dari surat yang KKP layangkan, BKPM akan berkoordinasi dengan KKP,” kata Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta, Rabu.

Menurut dia, pertemuan yang bakal digelar di kantor BKPM pada Rabu siang ini akan membahas terkait dengan rencana pencabutan Surat Izin Usaha Perikanan yang dimiliki PBR.

Sekjen KKP memaparkan, bila surat izin usaha dari BKPM dicabut maka seluruh aktivitas usaha perikanan yang dimiliki PBR juga akan dibekukan.

Sjarief mengungkapkan, sejak pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/2014, telah dilakukan proses verifikasi kapal eks-asing, dan sejak dilakukan proses tersebut ditemukan sejumlah ketidakpatuhan PBR.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta aparat dan lembaga pemerintah mendalami laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal kasus dugaan perbudakan di Benjina, Maluku.

“Untuk membantu proses penuntasan kasus Benjina, kami menyarankan kepada pemerintah mendalami laporan BPK,” kata Ketua KNTI M Riza Damanik, Selasa.

Ia memaparkan, berdasarkan Laporan BPK 2010 diketahui dua hal.

Pertama, pemeriksaan atas “database” perizinan pada Direktorat Pelayanan Usaha Perikanan periode 19 Mei 2009 sampai dengan akhir September 2009, terdapat 98 Izin Usaha Penangkapan yang menggunakan tenaga kerja asing melebihi ketentuan maksimum sebesar 50 persen dari keseluruhan awak kapal pada tahun pertama, termasuk di dalamnya PT PBR (perusahaan yang terkait dengan kasus Benjina).

Kedua, lanjut Riza, meski ada pelanggaran penggunaan ABK asing, KKP tetap mengeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada PBR.

Ketum KNTI menyarankan setelah mendalami laporan BPK, kemudian diteruskan dengan mendalami keterangan dari Direktur Pelayanan Usaha Perikanan, Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan, dan Dirjen Perikanan Tangkap di lingkungan KKP.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, dugaan perbudakan tenaga kerja asing di Benjina, Maluku, merupakan fenomena puncak gunung es karena diduga terjadi pula di beberapa tempat lainnya.

“Kasus perbudakan yang terjadi di Benjina hanyalah topping (puncak) dari sebuah gunung es yang sangat tinggi,” kata Susi Pudjiastuti pada pidato di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Selasa (21/4).

Menurut dia, apa yang terjadi dengan warga negara Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja di Benjina adalah hal yang sama yang terjadi pada nelayan dan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing.

Pemerintah Disarankan Dalami Laporan BPK Terkait Benjina

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menyarankan pemerintah untuk mendalami laporan Badan Pemeriksa Keuangan guna membantu proses penuntasan kasus dugaan perbudakan di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

“Kami menyarankan pemerintah mendalami keterangan dari Direktur Pelayanan Usaha Perikanan, Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan, dan Dirjen Perikanan Tangkap di lingkungan KKP,” kata Riza Damanik melalui pesan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa malam.

Berdasarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2010 diketahui dua hal, yaitu pemeriksaan atas database perizinan pada Direktorat PUP (Pelayanan Usaha Perikanan) periode 19 Mei 2009 hingga akhir September 2009 terdapat 98 Izin Usaha Penangkapan (SIPI) yang diterbitkan setelah pemberlakuan PER.12/MEN/2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap pada tanggal 19 Mei 2009, menggunakan tenaga kerja asing melebihi ketentuan maksimum sebesar 50 persen dari keseluruhan awak kapal pada tahun pertama, termasuk di dalamnya PBR.

Kemudian, dia mengatakan meski ada pelanggaran penggunaan anak buah kapal (ABK) asing, KKP tetap mengeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada PBR.

“Perlu diketahui bahwa pelanggaran awal yang dilakukan oleh PBR adalah menggunakan ABK asing yang melebihi ketentuan, sebelum akhirnya terungkap ada dugaan praktik perbudakan dan pelanggaran perikanan di Benjina,” kata Riza.

Kemudian terjadi peristiwa kematian saksi kunci kasus perbudakan di Benjina, Yosep Sairlela yang bekerja sebagai koordinator Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP.

“Kami mendukung pemerintah untuk melakukan autopsi dan berharap hasilnya dapat menjelaskan penyebab kematian almarhum tanpa ada intervensi pihak mana pun, kepada keluarga almarhum, pemerintah wajar memberikan penghargaan atas pengabdian almarhum selama bertugas di KKP,” kata Riza.

Menurut dia terlepas dari apakah kematian itu berhubungan atau tidak berhubungan dengan kasus yang tengah diselidiki di Benjina, pemerintah tetap harus segera mengungkap kasus Benjina.

“Meski Yosep meninggal dunia, tidak serta merta memutus petunjuk untuk menemukenali sederet dugaan kejahatan perikanan yang dilakukan oleh PT.PBR. Apalagi, pihak PBR sempat menyebut ada suap ke sejumlah petugas di KKP,” kata Riza. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home