Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 09:16 WIB | Sabtu, 12 Agustus 2017

Percayalah!

Dan percaya berarti menaruh keterbatasan diri di tangan Allah.
Petrus berjalan di atas air (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Betapa heroiknya Petrus. Di tengah ketakutan para murid karena angin sakal, ditambah dengan keyakinan bahwa hantu sedang mendatangi mereka, Petrus mengambil tindakan logis. Sang Batu Karang  berseru, ”Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air” (Mat. 14:28). Dalam BIMK: ” "Kalau Engkau memang Yesus, suruhlah saya datang berjalan di atas air.”

Menarik disimak cara membuktikan bahwa sosok yang mendatangi mereka bukanlah hantu. Petrus, yang percaya bahwa  Sang Guru memang mahakuasa, ingin Yesus melakukan hal yang dia percaya hanya bisa dilakukan Yesus sendiri. Pada kenyataannya percaya memang bukan hanya perkara manusia. Allah juga menghendaki manusia percaya kepada-Nya. Dan kelihatannya Petrus memang tak ingin sekadar percaya dengan mulutnya, juga hatinya, karena dia tahu betapa lemahnya manusia. Dia ingin Yesus membantunya untuk percaya. Caranya, Petrus memohon Yesus untuk menyuruhnya berjalan di atas air. Jelas di sini bahwa tindakan berjalan di atas air merupakan dalam kekuasaan Yesus sendiri.

Menarik disimak bahwa Yesus Orang Nazaret tidak menganggap Petrus sedang mencobai diri-Nya. Tampaknya Sang Guru memang memahami bahwa para murid sedang kalut. Mereka butuh kepercayaan. Dan Petrus menaruh kepercayaan sungguh kepada Tuhan saja. Dan Petrus berjalan di atas air.

Namun, penulis Injil mencatat: ”Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: "Tuhan, tolonglah aku!” (Mat. 14:30). Tiupan angin, besarnya gelombang, membuat Petrus merasa gentar. Kenyataan bahwa manusia tidak mungkin berjalan di atas membuat dia khawatir dan mulai tenggelam. Dan untunglah dia masih sempat berteriak, ”Tuhan, tolonglah aku!” Ketika Petrus hanya melihat sekeliling, hanya melihat diri sendiri, dia pun mulai takut.

Dan Petrus tidak sendirian. Elia pun ketakutan setengah mati karena Izebel. Memang aneh, mengapa Elia takut kepada Sang Ratu. Bukankah sebelumnya Elialah yang memimpin pembunuhan terhadap 450 nabi Baal dan 400 nabi Asyera? Bukankah Elia telah merasakan bagaimana Allah menurunkan api dari langit dan membakar persembahannya? Bukankah hujan pun sudah turun? Lalu mengapa Elia takut kepada Izebel?

Mungkin jawabannya memang di sini—dalam ucapan Elia sendiri—”Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku” (1Raj. 19:10). Jawaban Elia memperlihatkan bahwa dia, mungkin tanpa disadarinya, sedang berpusat pada diri sendiri. Elia yang bekerja giat, Israel enggak mau mendengar khotbahnya, dan cuma dia yang tinggal. Semua hanya bicara aku!

Dan ketika manusia berpusat pada diri sendiri, ketakutanlah yang menguasai. Mengapa? Karena manusia tak mungkin membohongi diri sendiri—manusia mempunyai keterbatasan! Dan percaya berarti menaruh keterbatasan diri di tangan Allah.

Percayalah!

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home