Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 09:56 WIB | Senin, 19 Oktober 2015

Soleman Ponto: Bela Negara Berpotensi Jadi Korupsi yang Dilegalkan

Soleman Ponto (Foto: dok pribadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Program Bela Negara yang dicanangkan oleh Kementerian Pertahanan diminta untuk dibatalkan karena program itu tidak jelas dan melanggar undang-undang. Program itu, bila dilaksanakan, merupakan pemborosan uang negara secara besar-besaran dan berpotensi menjadi korupsi yang dilegalkan.

Pendapat ini dilontarkan oleh Laksda TNI AL Purn Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, setelah melakukan analisis secara mendalam atas berbagai keterangan yang diberikan Kemenhan mengenai program tersebut.

“Sampai hari ini tidak ada penjelasan dari Kemhan seperti apa program Bela Negara yang akan mereka laksanakan. Bahkan Laksma TNI Faisal pun tidak mampu menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan Bela Negara. Sepertinya Kemhan tidak mengerti Upaya Bela Negara menurut UU no 3/2002,” kata Soleman, merujuk pada keterangan  Direktur Bela Negara Ditjen Potensi Pertahanan, Kementerian Perrtahanan, Laksma M. Faisal, dalam sebuah acara talk show di televisi.

Menurut Soleman Ponto,  Kemenhan yang diwakili Laksma Faisal dalam sebuah acara yang disiarkan televisi swasta pada 16 September,  mengatakan program Bela Negara bukan wajib militer. Disebutkan pula bahwa  pelaksanaan Bela Negara  akan berlangsung di suatu tempat seperti Rindam, dan para pesertanya mendapat uang saku.  Juga dikatakan bahwa ini  program sukarela.

Masih terkait dengan itu, di pemberitaan media juga dikatakan bahwa Bela Negara akan jadi kurikulum.  Menristek Dikti mengatakan, pihaknya sudah membicarakan hal itu dengan Menhan. “Secara tidak langsung, perguruan tinggi itu nantinya akan bekerjasama dengan Kodam setempat," demikian pernyataan Menristek Dikti di media.

Media juga mengutip pernyataan Menhan  yang mengatakan bahwa presiden  akan melantik Kader Bela Negara yang berjumlah 4500 orang, dimana 45 kabupaten diwajibkan untuk mengirim 100 orang setiap kabupaten.

Kemenhan Jangan Sembarangan

Menurut Ponto, secara hukum kedudukan Program Bela Negara dapat diuji dengan  ketentuan pasal 9 ayat 2 dan ayat 3  UU nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara.  Dikatakan pada ayat 2, bahwa  keikutsertaan warga negara dalam Upaya Bela Negara, diselenggarakan melalui,  a. pendidikan kewarganegaraan; b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan d. pengabdian sesuai dengan profesi.

Sedangkan pasal 3 mengatakan,  ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.

Dengan demikian,  menurut Ponto,  setiap warga negara untuk menjadi Kader-kader Bela Negara hanya dapat dilaksanakan melalui  : Pertama, Pendidikan Kewarganegaraan, Kedua, Pelatihan Dasar Kemiliteran secara Wajib, Ketiga, Pengabdian sebagai Prajurit Tentara Nasional Indonesia secara Sukarela atau Wajib, Keempat, Pengabdian Sesuai dengan Profesi.

Selanjutnya, menurut Ponto, bila mengacu pada UU,  langkah Menristek Dikti memasukkan pelajaran pendidikan Kewarganegaraan  ke dalam kurikulum pendidikan nasional sudah merupakan  pembentukan Kader Bela Negara sebagaimana yang diatur oleh pasal 9 ayat 2 UU nomor 3/2002.  Hanya saja, kata dia,   memasukkan pendidikan Kewarganegaraan  ke dalam kurikulum pendidikan nasional dapat dilakukan sendiri oleh Menristek Dikti, tanpa bantuan Kodam. 

“Menjadi aneh ketika Menristek Dikti menyatakan bahwa untuk membentuk Kader Bela Negara akan bekerja sama dengan Kodam setempat,” tutur Ponto.

Di sisi lain, Ponto mengatakan,  bila Kodam akan dilibatkan dalam pembentukan Kader Bela Negara, keterlibatannya hanya dapat dilakukan  melalui Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib, atau Wajib Militer dan Pengabdian sebagai Prajurit TNI secara Sukarela atau Wajib.  Itu sebabnya, kata Ponto, ketika Menristek Dikti menyatakan bahwa dalam upaya Bela Negara akan bekerja sama dengan Kodam, yang terlintas adalah Pelatihan Dasar Kemiliteran secara Wajib, atau Wajib Militer bagi mahasiswa. Apabila  kerjasama Menristek Dikti dan Kodam dilaksanakan untuk membentuk Kader Bela Negara di luar hal itu,   diperlukan adanya undang-undang baru. Berbeda halnya bila  Menristek Dikti melakukan program Bela Negara melalui pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan, tidak diperlukan undang-undang baru karena itu dapat dilakukan berlandaskan Undang-undang Pendidikan Nasional.

Tinggal Wamil yang Belum Ada UU

Ponto mengingatkan, untuk membentuk Kader Bela Negara,  Kemenhan tidak boleh sembarangan dan melakukan sesuka hati karena semuanya harus berdasarkan undang-undang.  Menurut dia, terkait Bela Negara, Kemhan hanya dapat melaksanakan Wajib Militer atau Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib. Sedangkan Bela Negara berupa Pendidikan Kewarganegaraan  sudah pasti dilaksanakan oleh Menteri Pendidikan, sedangkan Pengabdian sebagai Prajurit TNI sudah dilaksanakan oleh TNI dan untuk Pengabdian Sesuai Profesi sudah dilaksanakan oleh berbagai profesi yang ada di Indonesia, misalnya, dokter, guru, wartawan dan lain-lain.

“Jadi hanya ada satu yang belum dilaksanakan yaitu kegiatan Wajib Militer atau Pelatihan Dasar kemiliteran, yang dapat dilaksanakan oleh Kemhan.”

Ironisnya, lanjut Ponto, Laksma Faisal justru membantah bahwa program Bela Negara yang akan dilakukan Kemenhan adalah Wajib Militer. Ini memiliki konsekuensi hukum yang berat. “Itu berarti  program Bela Negara yang akan  dilakukan oleh Kemhan saat ini berada di luar ketentuan ayat 2 pasal 9 UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Artinya melanggar Undang-undang,” kata Ponto.

Ponto juga mengkritisi pernyataan Laksma Faisal yang mengatakan bahwa para peserta akan dikumpulkan di tempat tertentu dan diberikan uang saku. Bila uang saku dan uang makan per orang tiap bulan sebanyak Rp 5 juta per orang, untuk 4.500 orang akan dibutuhkan Rp 22,5 miliar per bulan atau Rp 270 miliar per tahun.

“Angka itu masih akan berkembang karena untuk operasional pendidikan dan lain-lain, belum dihitung.”

Menurut Ponto, ini adalah angka yang tidak sedikit karena akan dilaksanakan selama 10 tahun. “Ini dapat dikatakan sebagai pemborosan besar-besaran atas uang negara yang dapat dikategorikan sebagai korupsi yang dilegalkan,” kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home