Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 14:00 WIB | Rabu, 13 November 2013

Target MDGs Tidak Tercapai: Puluhan Ribu Ibu Meninggal Saat Melahirkan

Ilustrasi. (Sumber MDGs Polewali Mandar)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam satu jam ada tiga hingga empat ibu di Indonesia meninggal saat melahirkan. Dalam sehari ada 72 hingga 96 ibu meninggal karena melahirkan. Dalam sebulan 2.160 hingga 5.760 ibu meninggal karena melahirkan, dan dalam setahun 25 ribu hingga 34.560 ibu meninggal karena melahirkan. Ini merupakan hitungan Angka Kematian Ibu (AKI) 359 per 100 ribu kelahiran hidup dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012.

Angka kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi ini yang diketahui dari SDKI 2012 yang disembunyikan Kementerian Kesehatan. Laporan SDKI dipublikasikan pada Desember 2012, namun tidak dimuat angka kematian ibu melahirkan, karena Kementerian Kesehatan menolak angka tersebut.  Fasli Jalal, Ketua Badan Perencanaan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membocorkannya pada 20 Agustus 2013 dan memaksa Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengumumkannya pada 25 September 2013.

Salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) tujuan ke-5 ‘Meningkatkan Kesehatan Ibu’ tidak akan tercapai pada 2015. Sementara pemerintah telah menetapkan target AKI 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Tetapi yang terjadi AKI SDKI 2012 justru meningkat lebih dari 50 persen dari AKI SDKI 2007. AKI SDKI 2007 sebesar 228 per 100 ribu kelahiran hidup menjadi sebesar 359 per 100 ribu kelahiran hidup pada AKI SDKI 2012. Hasil SDKI 2012 telah dirilis akhir September, survei itu dilakukan Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pusat Statistik (BPS).

“Ironisnya provinsi dengan AKI tertinggi kebanyakan berada di Pulau Jawa,” kata Hamong Santono, Program Officer MDGs INFID kepada satuharapan.com, Selasa (12/11).

Hasil SDKI 2012 mengkonfirmasi bahwa berbagai program yang dilaksanakan pemerintah belum berhasil menurunkan AKI sesuai target yang diharapkan. Jaminan Persalinan (Jampersal) yang menjadi program andalan pemerintah berupa bantuan finansial diberikan pada penduduk miskin yang memberikan jaminan pembiayaan untuk pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan  dan pelayanan bayi baru lahir. Jampersal diluncurkan pada 2011 ditujukan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi menjadi tidak efektif di lapangan karena berbagai sebab.

Lanjut Hamong, “Alokasi anggaran kesehatan program Jampersal 2013 sekitar Rp. 2,4 triliun dengan asumsi naik 40 persen dari anggaran 2012. Jika anggaran Jampersal 2013 dibagi dengan perempuan usia hamil 15 tahun-45 tahun yang jumlahnya sekitar 68 juta, maka Jampersal yang diterima perempuan usia hamil adalah. 35.300 Rupiah per tahun.”

Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengatakan, “Anggaran Jampersal yang diterima ibu hamil kecil sekali jika dibandingkan dengan uang saku resmi anggota DPR yang pergi keluar negeri sebesar 4,5 jutaan Rupiah per hari.”

Penyebaran informasi yang kurang meluas dan tidak efektif tentang adanya program Jampersal menjadi salah satu penyebab. Selain itu implementasi Jampersal oleh pemerintah daerah yang seringkali menghambat tujuan Jampersal. Di sisi lain akses terhadap informasi kesehatan juga belum bebas. Walau pun sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Nasional dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang memandatkan pembukaan akses informasi kesehatan dan informasi pelayanan kesehatan seluas-luasnya kepada masyarakat tetapi masih belu berjalan dengan baik. Padahal Indonesia terlibat aktif di Open Government Partnership (OGP) yang bertujuan membangun pemerintahan yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan akuntabel. Dan pada tahun 2013 ini giliran Indonesia memimpin OGP dengan 60 negara anggotanya.

Kenyataan tersebut ditelusuri INFID bersama ISAI mengenai beragam persoalan yang disinyalir sebagai penyebab AKI, seperti lemahnya kebijakan, buruknya pelaksanaan kebijakan hingga persoalan budaya di masyarakat dan selama Juli hingga September 2013 penelusuran dilakukan di lima provinsi. Yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Hasilnya dirilis dalam laporan mendalam ‘Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu di Indonesia’ di Kantor INFID pada Senin (11/11). 

Selain itu sejumlah fasilitas tempat melahirkan yang kurang memadai dan tidak tersedianya rumah tenaga medis serta non-fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) masih kurang, dari 9.000-an Puskesmas yang ada di Indonesia baru 2.000-an yang sudah menjadi Puskesmas PONED, atau sekitar 40 persen. Puskesmas PONED adalah puskesmas yang memiliki fasilitas dan kemampuan  memberikan pelayanan untuk menanggulangi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal selama 24 jam. Demikian juga tidak semua rumah sakit pemerintah memiliki Instalasi Gawat Darurat Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency Komprehensif (IGD-PONEK). IGD PONEK menjadi rujukan jika Puskesmas PONED tidak mampu menangani persalinan yang sulit. Sedangkan kebutuhan tenaga medis di Indonesia 24 ribu sampai 30 ribu dokter untuk ditugaskan di daerah mengisi ribuan Puskesmas yang kosong, namun anggaran yang tersedia hanya untuk dua ribu sampai tiga ribu dokter. Dari 535 kabupaten dan kota ada 191 yang bermasalah dengan ketersediaan tenaga kesehatan dan alat-alat kesehatan.

Fakta-fakta tersebut menyiratkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Terbatasnya kebijakan perlindungan sosial, minimnya alokasi anggaran pemerintah untuk tujuan pembangunan sosial, ketimpangan pembangunan baik karena faktor geografis, usia, maupun gender, menjadi faktor penyebab. Pemerintah harus mengalokasikan Belanja Sosial yang lebih besar. Di antara lain untuk menurunkan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kesempatan di Indonesia, alokasi belanja diutamakan untuk kesehatan serta menambah tenaga kesehatan di wilayah dengan AKI tertinggi, dan penambahan bidan, dokter dan alat kesehatan.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari mengatakan, “Sebenarnya perempuan pedesaanlah yang paling berat menanggung beban dalam masalah kesehatan ibu dan anak, apalagi dalam menghadapi politik kesehatan. Karena politik kesehatan tidak berbasis pada kebutuhan perempuan.”

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home