Loading...
ANALISIS
Penulis: Albertus Patty 09:13 WIB | Selasa, 27 April 2021

Amburadulnya Budaya Demokrasi Kita?

Amburadulnya Budaya Demokrasi Kita?
(Foto ilustrasi: dok. Ist)
Amburadulnya Budaya Demokrasi Kita?

SATUHARAPAN.COM-Kita hidup dalam dunia yang mengajarkan kita untuk selalu berkompetisi. Spirit berkompetisi itu ada di mana-mana. Pada titik tertentu, mentalitas berkompetisi itu bagus. Mentalitas ini membuat orang lebih maju dan berkembang. Tetapi, kompetisi menjadi sesuatu yang buruk saat orang menghalalkan segala cara untuk mengalahkan kompetitornya. Pada saat seperti ini, kompetisi sebagai perlombaan berubah menjadi kontestasi alias pertikaian dan perseteruan. 

Albertus Patty. (Foto: dok. pribadi)

 

Kita harus realistis karena sesungguhnya dalam kehidupan bermasyarakat kita jumpai keduanya, baik kompetisi maupun kontestasi. Dalam organisasi mana pun, baik sekuler maupun institusi agama, selalu terdapat kompetisi antar kelompok. Ini baik! Celakanya, kompetisi sering berubah menjadi kontestasi. Lalu, kontestasi mengubah spirit kelompok yang menekankan kolaborasi menjadi komplotan yang menciptakan kontroversi. Mengapa terjadi kontestasi? Paling sedikit ada dua faktor yang menjadi penyebabnya yang akan diuraikan di bawah ini.

Faktor pertama. kita semua terikat pada faktor primitif dan primordialistik seperti ikatan etnik, latar belakang denominasi atau agama dan taruhlah ikatan organisasi. Ikatan yang berlebihan pada faktor-faktor ini yang kemudian dipolitisasi agar membangkitkan sisi emosional kita. Efeknya, kontestasi yang emosional akan membuat orang tidak mampu berpikir dan bertindak rasional. Situasi inilah yang sekarang mewarnai dan bahkan mendominasi dunia 'politik' di mana pun, baik 'politik' dalam institusi sekuler maupun, dalam institusi-institusi keagamaan kita. Terjadilah polarisasi yang menajam antara kami vs mereka.

Faktor kedua, penyebab berubahnya kompetisi menjadi kontestasi adalah karena adanya pengaruh dan pekerjaan theinvisiblehands. Kaum theinvisiblehands adalah mereka yang punya akses pada kekuasaan politik dan juga pada kekuatan modal. Mereka adalah kelompok 'penekan,' kaum oligarki yang, dengan power dan money-nya, mampu mempengaruhi jalannya kompetisi di mana pun agar sesuai dengan kehendak mereka. Lalu, orang pun menjadi, apa yang Amos sebut sebagai, 'lembu basan' dungu yang bersedia meminggirkan dan bahkan menyingkirkan idealisme karena keuntungan sesaat. Keadilan dan kebenaran pun diputarbalikkan!

Dari Kompetisi Berubah ke Kontestasi

Sesungguhnya, di negeri kita budaya demokrasi dengan kompetisi yang beradab telah berubah menjadi kontestasi yang biadab. Budaya demokrasi kita menjadi amburadul! Dalam setiap kontestasi semua unsur dan faktor-faktor di atas itu sudah sangat mempengaruhi kita. Seberapa jauh efeknya tergantung integritas setiap orang. Celakanya, apa pun keputusan kita dalam ajang kontestasi itu selalu diiringi dengan justifikasi moral, etis dan bahkan teologis. Memang, dalam pertarungan yang melibatkan unsur emosional kita kehilangan rasionalitas. Saat itu kita mampu membenarkan apa yang salah dan menyalahkan apa yang benar.

Pemenang dalam kontestasi politik apa pun, baik dalam organisasi sekuler maupun dalam organisasi keagamaan, tidak selalu orang yang berkualitas dan berintegritas. Yang dungu atau bahkan para koruptor pun berpeluang besar menang. Praktek transaksional yang melibatkan uang dan kekuasaan bisa mengatur peta politik dalam sekejap. Apa pun dilanggar atau diabaikan. Pragmatisme politik yang menghasilkan hoax kejam bisa menjungkalkan integritas menjadi disintegritas. Moralitas pun tergusur total!

Sekali lagi, situasi di mana kompetisi berubah menjadi kontestasi terjadi di hampir seluruh aspek 'politik' baik di dunia sekuler maupun, moga-moga tidak, dalam institusi agama kita. Demokrasi yang bersifat rasional untuk kepentingan rakyat banyak berubah menjadi democrazy yang emosional dan transaksional demi melayani dominasi dan hegemoni kaum kelas atas.

Meski kita masih berharap institusi keagamaan atau yang berafiliasi dengan agama tidak tertular virus kontestasi. Tetapi kita harus realistis bahwa manusia itu berdosa dan rapuh. Saat berhubungan dengan kekuasaan, manusia dalam organisasi atau institusi apa pun, termasuk dalam institusi keagamaan, berpotensi terjebak dan tergeletak oleh virus ini.

Tiba-tiba saja saya teringat kata-kata Abraham Lincoln yang sering dikutip Ahok (Basuki Tjahaja Purnama):" bila mau menguji integritas seseorang, berilah dia kekuasaan."

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home