Loading...
OPINI
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 00:00 WIB | Senin, 22 Februari 2016

Bahasa Etnis dan Bahasa Negara

SATUHARAPAN.COM - Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK), ratusan bahasa etnis di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia Timur, terancam punah (satuharapan.com, 02 Desember 2015). Pakar linguistik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Multamia Lauder, mencatat ada 25 bahasa di Indonesia yang berstatus hampir punah. Tercatat bahwa, Indonesia memiliki 706 bahasa dan 266 di antaranya berstatus bermasalah. (antaranews.com, 31 Oktober 2015).

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Apresiasi patut kita berikan kepada siapapun, baik individu maupun institusi yang berusaha melakukan langkah-langkah penyelamatan bahasa etnis tersebut. Namun, hal yang perlu disoal adalah cara pandang terhadap bahasa etnis itu sendiri.

 

Bahasa Etnis dalam Dominasi Bahasa Negara

UUD 1945 pasal 32 ayat 2 menyebutkan:  “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Kalimat ini terkesan ‘hanya sekadar’ saja. Sebab, dalam kenyataannya, bagi negara melalui pemerintah Bahasa Indonesia ‘haruslah di atas’ dari bahasa etnis. Pasal  36 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Benar, bahwa setiap negara harus memiliki satu bahasa nasional yang lebih banyak bersifat politis untuk urusan birokrasi dan hukum. Namun, hal inilah yang justru paradoks dalam kita membincangkan keberadaan bahasa etnis. Sebab, secara langsung atau tidak, disengaja atau tidak, bahasa negara tersebut akan terus berusaha mendominasi bahasa etnis.

Persoalan posisi bahasa etnis dalam dominasi bahasa negara (Bahasa Indonesia) sebenarnya merefleksikan pula persoalan posisi etnis-etnis dalam negara itu sendiri.  Jika kita kembali lagi mengutip UUD 1945 terutama pasal 28i pada ayat 3 di situ disebutkan: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Tampak di sini seolah-olah negara menerima dan menghargai budaya etnis, namun pada pihak lain sebenarnya tersingkap pula dominasi negara terhadap etnis-etnis melalui pendefinisian bahasa etnis itu. Negara adalah subjek dan etnis adalah objek.

Jadi, relasi antara etnis-etnis dan negara yang kemudian terungkap dalam relasi antara bahasa etnis dengan bahasa negara adalah relasi ‘subjek-objek’. Sehingga kita kemudian mendengar pengakuan yang romantik terhadap kebudayaan daerah (-daerah), antara lain muncul dalam definisi Ki Hajar Dewantara, bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Ini jelas mengambarkan paham ‘kesatuan’ di atas keberagaman.  Mari kita juga lihat bagaimana kepala LIPI, Prof Dr Iskandar Zulkarnain dalam pernyataan yang dikutip lipi.go.id mendefinisikan bahasa etnis itu:  “Banyak fungsi yang diemban bahasa etnis, misalnya lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, wahana komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat daerah, serta wahana mentransmisikan tradisi lisan nusantara, yang sarat dengan kearifan lokal.”

Ungkapan-ungkapan ‘pengakuan’ itu memang sedap didengar. Namun saya merasakan sebuah cara pandang yang memahami bahasa etnis itu sebagai sesuatu yang eksotis sehingga penting diperhatikan. Ini cara pandang khas orang-orang modern terhadap budaya tradisional. Dalam logika pariwisata, apa saja yang ‘eksotis' di etnis-etnis adalah ‘bahan mentah’ untuk dijual.

 

Diselamatkan untuk Siapa?

Apakah keprihatinan kita terhadap ancaman kepunahan bahasa-bahasa etnis benar-benar untuk para penutur atau orang-orang di etnis itu? Di UUD 1945 yang kita lihat tadi jelas, bahwa segala hal dalam kebudayaan daerah/etnis, termasuk bahasanya adalah untuk ‘kebudayaan nasional’. Dengan kata lain, bahasa etnis, baik dalam studi-studi akademik dan segala kebijakan negara maksud utamanya adalah untuk diremas dan disari menjadi ‘identitas nasional’ dan ‘nasionalisme’. Atau dengan bahasa lain, ‘segala upaya penyelamatan dan pelestarian bahasa etnis tidaklah terutama sebagaimana adanya bahasa itu untuk orang-orang di etnis-etnis itu, tapi untuk negara.’ Lalu, apa manfaatnya bagi masyarakat etnis?

Pada dirinya, bahasa etnis adalah untuk etnis itu sendiri. Tidak hanya sebagai alat komunikasi, tapi juga ia menyangkut jejak-jejak perjalanan kehidupan komunitas etnis. Kadang-kadang ia juga dipahami sebagai sesuatu yang sakral. Bahasa etnis menyangkut segala pengetahuan komunitas. Spiritualitas komunitas ada dalam bahasa etnis itu. Sehingga, bagi setiap etnis bahasa itu tidak terutama untuk ‘identitas atau nasionalisme negara’, tetapi untuk kehidupan eksklusif komunitas.

Jadinya, jika bahasa etnis didiskusikan dalam logika nasionalisme negara, maka sadar atau tidak sadar, posisinya adalah objek, seperti ketika para peneliti dari universitas-universitas yang mengajarkan pengetahuan modern yang rasionalistik-positivistik memandang artefak-artefak dari masa lalu yang eksotis. Memang, dapat dimaklumi bahwa Indonesia sebagai nation state tidak berdiri dalam kesadaran dan spiritualitas etnis-etnis itu. Sebab, selain sudah kodratnya bahwa negara harus mengkonstruksi satu identitas tunggal, namun kenyataannya nation state ini, sebagai produk modernitas ia pula harus terus berusaha memodernisasi diri, yang sama dengan ‘merasionalisasi’ dan ‘mempositifkan’ semua yang berbau tradisional.  

Usaha-usaha mulia dari siapapun terkait dengan keberadaan bahasa-bahasa etnis di Indonesia tidak boleh tidak harus berada dalam kesadaran arti dan makna bahasa etnis bagi komunitas etnis itu sendiri. Ini tentu bukan pekerjaan gampang mengingat sangat beragamnya etnis di Indonesia. Berikut, perspektif yang perlu dirubah adalah cara kita memperlakukan bahasa etnis sebagai objek belaka.

Perubahan cara pandang itu sangat terkait dengan perubahan cara kita memahami Indonesia itu sendiri. Ungkapan bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistis mestinya tidak hanya sekadar slogan atau bahasa politis saja. Itu harus beriringan dengan pengakuan terhadap hak, misalnya bagi komunitas etnis dalam memaknai dan mempraktekkan bahasanya sebagaimana ia ada dalam kosmologi kebudayaan mereka.

Salah satu contoh, kebanyakan bahasa etnis itu dalam bentuk lisan, dan ia hidup dalam bentuk itu. Maka, mengkonstruksi bahasa etnis menjadi bahasa tulisan, pun itu dipahami sebagai cara penyelamatan, sama dengan ‘membunuh’ roh bahasa etnis itu sendiri. Ya, bahasa etnis bagi komunitasnya adalah juga mistis karena ia menghubungkan tidak hanya secara geneologis dan historis-sosiologis orang-orang di dalam komunitas itu, tapi juga secara supranatural. Mitos-mitos yang berisi pengetahuan luhur disampaikan dalam bahasa etnis. Ini tentu tidak dapat kita rasakan dalam bahasa Indonesia, bahasa negara itu.

 

Penulis adalah dosen UKIT, pegiat di Mawale Cultural Center. Tinggal di Minahasa

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home