Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 09:48 WIB | Senin, 22 Oktober 2018

Banyuwangi Punya Destinasi Wisata Kuliner Kampung Lele

Ilustrasi. Lele. (Foto: Desa Gondosuli)

BANYUWANGI, SATUHARAPAN.COM – Banyuwangi, kabupaten di ujung timur Pulau Jawa, kini punya destinasi wisata baru berbasis kuliner, yakni kampung lele. Kampung lele yang terletak di Dusun Krajan, Desa Kedayunan, Kecamatan Kabat, diluncurkan Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, pada 18 Oktober lalu.

Lahirnya kampung lele ini mendapatkan sambutan hangat dari Bupati Anas. “Saya sangat mengapresiasi kreativitas yang muncul dari bawah. Prakarsa dari bawah itu penting sebab kelompok-kelompok masyarakat bisa melihat potensi desa dan mengembangkannya,” kata Anas, seperti dilansir dalam situs resmi banyuwangikab.go.id.

Warga di wilayah itu tak sekadar punya kolam dan membudidayakan lele, namun juga mampu membuat makanan-makanan olahan berbahan dasar lele. “Makanan olahan dari lele enak-enak. Tinggal bagaimana makanan olahan rumah tangga ini kita jadikan produk yang dikaitkan dengan pariwisata,” kata Anas, yang sempat berkeliling ke meja-meja tempat ibu-ibu PKK memamerkan makanannya saat peluncuran.

Berbagai olahan serba lele disajikan sebagai lauk menemani nasi putih, nasi kuning, dan nasi jagung, mulai dari plecing lele, perkedel lele, lele bakar, hingga dendeng lele kelapa. Juga ada lele kothok kemangi pedas, mangut lele, lele bumbu acar, pepes lele selimut ontong, lele pedas, dan lele sambal kemangi.

Sajian kuliner, kata Anas, menjadi kekuatan dan daya tarik. Apalagi, imbuhnya, masyarakat Kabat punya ikon ruang terbuka hijau (RTH) baru yang didesain dengan konsep futuristik oleh arsitek kenamaan, Yori Antar. “Masyarakat bisa memanfaatkan RTH ini, misal di malam Minggu mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang diisi oleh anak-anak kita. Nah, di situ orang bisa menonton sambil menikmati kuliner nasi hangat lele dan hidangan serba lele lainnya, semacam food street begitu. Ini jadi kekuatan tersendiri, dimana kesenian digabungkan dengan kuliner,” kata Anas.

Anas juga berharap warung-warung di dalam permukiman menyediakan makanan olahan dari lele. Tamu yang sewaktu-waktu berkunjung akan mudah mendapatkan kuliner air tawar andalan itu.

 “Kalau desa ini mem-branding diri sebagai kampung lele, sebaiknya kampung-kampung warga di dalam permukiman juga menjual kuliner ini. Lebih bagus lagi kalau lelenya juga diperlihatkan kepada wisatawan lewat kolam-kolam yang sehat dan enak dipandang, sehingga mereka yakin kan yang dikonsumsinya sehat. Bahkan mereka bisa memilih sendiri ikan lele yang ingin dimakannya dari kolamnya langsung,” ujar Anas.

One Village One Destination

Sementara itu, Camat Kabat, Susanto Wibowo menambahkan, di Desa Kedayunan terdapat kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Gandrung Lele. Hingga saat ini total ada 52 pembudidaya ikan lele yang tergabung di dalamnya termasuk ibu-ibu.

“Meski pokdakan ini terbentuknya tahun 2017, antusiasme mereka dalam mengembangkan budidaya lele memberikan hasil menggembirakan. Dengan diluncurkannya kampung lele ini, semoga ke depan semakin membuat masyarakat semangat berbudidaya lele dan meningkatkan pengolahannya sehingga memberikan nilai tambah bagi perekonomian mereka,” kata Susanto.

Di Kecamatan Kabat, menurut Susanto, terdapat 14 desa dengan berbagai potensi. Pemerintah Kecamatan Kabat bersepakat, pada tahun 2018 untuk meningkatkan program pengembangan desa yang semula One Village One Product (OVOP) menjadi One Village One Destination (OVOD). “Jadi kami terus mengembangkan potensi tiap-tiap desa, sehingga layak untuk menjadi destinasi wisata baru,” dia menjelaskan.

Mengolahnya Bak Unagi hingga Membuat Lele Presto

Hal senada disampaikan Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi, Suryono Bintang Samudra. “Desa Kedayunan ini merupakan desa binaan kami yang begitu antusias dengan budidaya lele. Menindaklanjuti program pemkab terkait 100.000 kolam ikan, sekarang masing-masing rumah tangga punya kolam di pekarangan sendiri-sendiri,” katanya.

Ia bersama penyuluh lain mencoba melakukan diversifikasi pangan agar lele tak hanya dijual dalam bentuk mentah. Harapannya, perekonomian masyarakat dapat meningkat.

“Selama ini kita menjual lele di pasar lokal, paling jauh sampai di Bali. Di Bali size lele yang laku 6-8 cm, sementara di Banyuwangi 8-12 cm. Kalau hanya kita jual dalam bentuk segar, harga jualnya hanya Rp14.000 – 15.000 per kg. Karena itu kita coba bikin diversifikasi pangan lewat makanan olahan dari lele,” katanya.

Jika biasanya memilih mengolahnya menjadi bakso, abon, atau krupuk lele, kali ini lele diolah menjadi makanan yang lebih berkesan mahal. “Kami mengundang chef dari Singgasana Unagi Indonesia (SUI) secara khusus untuk mengajari warga cara membuat lele seperti masakan unagi (sidat),” Suryono menjelaskan.

Lele diolah menjadi fillet, yakni dipisahkan duri dan dagingnya, kemudian diolah dan dibumbui seperti masakan unagi kabayaki yang begitu digemari di Jepang. “Ternyata ketika lele dimasak seperti itu, cita rasa dan tampilannya pun tak kalah dengan unagi. Bahkan warga pun juga belajar mengolah lele presto dengan bumbu sarden. Kami berharap perekonomian masyarakat bisa lebih meningkat lewat upaya ini,” Suryono menambahkan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home