Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 17:10 WIB | Senin, 07 Oktober 2019

BBPOM Pantau Penarikan Ranitidin Injeksi di Aceh

Ilustrasi. Petugas BBPOM Banda Aceh bersama petugas kepolisian dari Polda Aceh dan Polres Aceh Tenggara mengamankan ribuan botol produk kecantikan diduga ilegal di sebuah rumah di kawasan Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Kamis (3/10/2019) siang. (Foto: Antaranews.com/HO-BBPOM Banda Aceh)

MEULABOH, SATUHARAPAN.COM – Balai Besar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Banda Aceh, hingga saat ini masih terus memantau penarikan sejumlah produk obat jenis Ranitidin Injeksi (obat cair) di 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, setelah BPOM pusat menginstruksikan penarikan obat tersebut.

Informasi yang diperoleh Antara dari BBPOM Aceh, penarikan produk tersebut dilakukan sehubungan dengan adanya informasi cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) pada produk obat yang mengandung Ranitidin, sebagaimana disampaikan oleh US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA), karena dalam kandungan obat tersebut diduga dapat memicu kanker.

Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus.

"Instruksi penarikan obat ini ada dua jenis, yaitu penarikan oleh pabrik dan penarikan produk dari BPOM," kata Kepala BBPOM Banda Aceh, Zulkifli Apt, kepada Antara, Senin (7/10).

Menurutnya, penarikan obat-obatan tersebut dilakukan setelah US FDA dan EMA pada tanggal 13 September 2019, mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam jumlah yang relatif kecil pada sampel produk yang mengandung bahan aktif Ranitidin, dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami.

Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan bagi masyarakat yang mengkonsumsi atau terinjeksi produk tersebut, BPOM pusat telah menginstruksikan penarikan produk ini di seluruh Indonesia termasuk di Provinsi Aceh.

Selain melakukan pemantauan, pihaknya juga akan menunggu data dari pabrik atau pedagang besar obat yang melakukan penarikan obat-obatan yang diduga juga sudah turut beredar di seluruh Aceh, kata Zulkifli.

Sementara itu, dalam surat BPOM yang diterima Antara, dalam surat tersebut disebutkan, studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.

Hal ini dijadikan dasar oleh Badan POM dalam mengawal keamanan obat yang beredar di Indonesia.

Dalam rangka kehati-hatian, Badan POM telah menerbitkan informasi awal untuk tenaga profesional kesehatan pada tanggal 17 September 2019, terkait Keamanan Produk Ranitidin yang terkontaminasi NDMA.

Badan POM saat ini sedang melakukan pengambilan dan pengujian beberapa sampel produk Ranitidin. Hasil uji sebagian sampel mengandung cemaran NDMA dengan jumlah yang melebihi batas yang diperbolehkan.

Pengujian dan kajian risiko akan dilanjutkan terhadap seluruh produk yang mengandung Ranitidin.

Berdasarkan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan, Badan POM memerintahkan kepada Industri Farmasi pemegang izin edar produk tersebut, untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi serta melakukan penarikan kembali (recall) seluruh bets produk dari peredaran.

Dalam surat tersebut juga disebutkan, sebagai bentuk tanggung jawab industri farmasi dalam menjamin mutu dan keamanan obat yang diproduksi dan diedarkan, industri farmasi diwajibkan untuk melakukan pengujian secara mandiri terhadap cemaran NDMA, dan menarik secara sukarela apabila kandungan cemaran melebihi ambang batas yang diperbolehkan.

Masyarakat yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang terapi pengobatan yang sedang dijalani menggunakan Ranitidin, untuk menghubungi dokter atau apoteker. (Antaranews.com)

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home