Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 21:26 WIB | Selasa, 10 November 2015

FITRA: Alokasi Anggaran BUMN Tak Tepat Sasaran

Manajer Advokasi Seknas FITRA Apung Widadi (kiri) dalam konferensi pers Mengukur Efektivitas PMN BUMN: Meningkatkan Produksi atau Sumber Sapi Perah di Kedai Kopi Deli Jalan Sunda no 8 M.H Thamrin Jakarta Pusat, hari Selasa (10/11). (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai alokasi anggaran Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan total aset mencapai Rp 4.500 triliun itu tidak tepat sasaran.

“Berdasarkan data di BEI asetnya BUMN itu mencapai sekitar Rp 2.500 triliun. Kemudian dalam catatan BPK itu total asetnya mencapai Rp 4.500 triliun. Dengan kapitalisasi aset yang spt ini sebenarnya masih banyak ruang-ruang yang bisa dieksplorasi oleh BUMN sendiri,” kata Manajer Advokasi  Seknas FITRA Apung Widadi dalam konferensi pers Mengukur Efektivitas PMN BUMN: Meningkatkan Produksi atau Sumber Sapi Perah di Kedai Kopi Deli Jalan Sunda no 8 M.H Thamrin Jakarta Pusat, hari Selasa (10/11).

“Dengan asetnya yang sebanyak itu bisa mendominasi seluruh sektor perekonomian di Indonesia mulai dari perbankan dan jasa itu sebenarnya bisa dan BUMN ini bisa melakukan dominasi dan kemudian mendorong perekonomian Indonesia.”

Menurutnya, kinerja BUMN di bawah Rini Soemarno saat ini tidak mencerminkan Nawa Cita yang digadang-gadang oleh Presiden Joko Widodo di mana BUMN diharapkan dapat menjadi Soko Guru perekonomian nasional.

“Cita-cita yang sangat bagus tapi dalam konteksnya saat ini belum terlaksana. Dari Rp 4.579 triliun itu berapa sebenarnya modal lagi yang dibutuhkan BUMN untuk meningkatkan kinerja produksinya ataupun kemudian bisa dilihat berapa laba dan berapa laba yg disetor ke negara,” kata dia.

“Kalau kemudian ini tidak transparan, ada apa dengan tata kelola BUMN tentu akan bisa kita lihat ada beberapa temuan-temuan yang mengindikasikan bahwa keuntungan BUMN dinikmati oleh siapa kemudian setoran ke negara kok sedikit.”

Apung mengatakan dengan aset sebanyak itu ditambah dengan revaluasi aset BUMN di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebesar USD 1 triliun sebenarnya BUMN bisa meminimalisir permintaan modal. Dampaknya memang BUMN harus membayar pajak lebih banyak namun ini adalah modal sebenarnya yang bisa didapat dibandingkan dia harus terus ‘menyusu’ ke APBN setiap tahun yang jumlahnya mencapai puluhan triliun.

“Ini yang harus menjadi solusi sebenarnya di antara Rp 4.500 triliun ini bagaimana kemudian revitalisasi evaluasi aset yang ditingkatkan dan dampaknya apa? Tidak senantiasa menyusu ke APBN setiap tahun  tetapi kemudian dia bisa menyumbang ke APBN lebih banyak.”

Politik Anggaran

Apung menyayangkan ada kesenjangan dalam alokasi anggaran Kementerian BUMN. Anggaran tersebut  tidak diprioritaskan untuk perusahaan-perusahaan yang selalu mengalami kerugian setiap tahunnya. Misalnya Krakatau Steel dan Garuda Indonesia.

Sebaliknya, anggaran yang fantastis tersebut terus disuntikkan kepada perusahaan-perusahaan yang sudah dalam kondisi ekonomi yang sehat seperti PLN dan Telkom.

“Problemnya PMN (Penyertaan Modal Negara) ini kan seperti ini misalnya Krakatau Steel itu kan selalu rugi, Garuda rugi, Telkom untung terus. Tapi yang mendapat PMN itu adalah BUMN yang dia sudah dalam kondisi keuangan yang sangat sehat. BUMN konstruksi kita lihat, PLN misalnya. Atau misalnya BUMN pertanian malah tidak mendapatkan PMN itu.”

Artinya, lanjut dia, dalam alokasi PMN ini tidak didasarkan dengan perhitungan ekonomi dan target BUMN mana yang akan dibesarkan, sektor mana yang dibesarkan ini juga tidak tercermin. Dari situ jadi asal tunjuk saja besar-kecilnya alokasi anggaran sesuai dengan politik anggaran Menteri BUMN dengan DPR.

Dengan demikian, Apung berkesimpulan bahwa pengelolaan BUMN masih belum sesuai dengan Nawa Cita yaitu menjadi Soko Guru Ekonomi Nasional, pengelolaan BUMN juga tidak didasarkan pada peta kemandirian ekonomi. Selain itu pengelolaan BUMN tidak diorientasikan untuk mendukung peningkatan pendapatan negara (PNBP) dan PMN belum berdampak signifikan terhadap pendapatan nasional.

“Presiden Jokowi harus memperbaiki tata kelola BUMN secara benar dan transparan,” kata dia. “Alokasi peningkatan PMN dalam APBN 2016 dan dalam APBN-P 2016 (bulan Februari) kurang tepat dan lebih baik dibatalkan dan dialokasikan untuk sektor lainnya.”

Selain itu, dia menyarankan agar Presiden harus melakukan revitalisasi BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional dalam jangka panjang termasuk mengganti menterinya yaitu Rini Soemarno.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home