Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 21:58 WIB | Selasa, 29 Desember 2015

Hindari Bencana, Perlu Sistem untuk Atur Keberagaman

Para pembicara dalam diskusi publik bertajuk "“Isu Separatis dan Sara sebagai Ancaman Keberagaman di Yogyakarta”. Dari kanan ke kiri Chang Wendryanto (anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] DIY), Muchammad Suhud (Front Jogja Anti Separatis), dan Hafizen (Penggiat Toleransi Yogyakarta). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institut pada 2014, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki peringkat kedua sebagai daerah intoleran di Indonesia, setelah Provinsi Jawa Barat di urutan pertama. Hal ini sangat mengejutkan mengingat Yogyakarta masif didengungkan sebagai The City of Tolerance.

Beberapa indikator yang menjadi tolok ukur ketika menempatkan Yogyakarta di urutan kedua untuk urusan intoleransi adalah maraknya peristiwa pembakaran dan perusakan gereja hingga perusakan salah satu makam kerabat Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Inilah yang kemudian disebut-sebut merusak atau menodai toleransi di Yogyakarta.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Isu Separatis dan Sara sebagai Ancaman Keberagaman di Yogyakarta” yang digelar di Teatrikal Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada Selasa (29/12). Diskusi yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Sunan Kalijaga ini menampilkan tiga pembicara, yaitu Chang Wendryanto (anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] DIY), Muchammad Suhud (Front Jogja Anti Separatis), dan Hafizen (Penggiat Toleransi Yogyakarta).

Menurut Hafizen, kita memerlukan sistem untuk mengatur perbedaan atau keberagaman dalam kerangka toleransi agar tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Sistem demokrasi yang telah ada saat ini sebenarnya dinilai cukup tepat, namun masih menunjukkan kelemahan di sisi penegakan hukum. Hal inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi negara untuk memperbaiki.

“Saya memiliki dua asumsi kenapa sikap intoleran di Yogyakarta mudah disulut. Pertama, saya berasumsi bahwa terjadi perebutan lahan investasi, seperti pendirian hotel, mall, dan diskotik di mana-mana. Kedua, lemahnya penegakan hukum,” ujar pria yang bergiat di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) ini.

Penegak hukum yang benar-benar menegakkan hukum menjadi sisi penting bagi berjalannya rasa toleransi di Yogyakarta. Jika penegakan hukum lemah, maka muncul konflik horizontal di mana antarmasyarakat akan saling berhadapan karena perbedaan cara pandang.

“Ketika ada aksi dengan penyampaian sesuai dengan mekanisme demokrasi, maka beri pengertian pula sesuai dengan mekanisme demokrasi, sehingga yang minoritas dapat menyampaikan aspirasinya. Jika hal ini bisa dilakukan, maka Yogyakarta akan bisa menjadi rumah bagi tiap etnis,” kata Hafizen.

Menyoal keberagaman etnis di Yogyakarta, Mochammad Suhud memaparkan bahwa keberagaman tersebut telah ada, bahkan sejak sebelum revolusi fisik. Salah satu indikasinya adalah dibukanya Universitas Gajah Mada (UGM) yang menempati Bangsal Pagelaran di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketika UGM telah dibuka, maka banyak etnis yang datang di Yogyakarta.

“Saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak mengizinkan pendirian asrama agar mahasiswa bisa merasakan suasana dan kesederhanaan rakyat di Yogyakarta. Para mahasiswa ini indekost di rumah-rumah dan bisa melihat langsung kehidupan masyarakat di Yogyakarta,” ujar Suhud.

Di sisi inilah, maka budaya yang dibawa oleh masyarakat pendatang kemudian bisa membaur dengan budaya masyarakat di Yogyakarta. Muara dari penyatuan dua budaya tersebut adalah akulturasi yang penuh toleransi, bukan justru mengedepankan budaya dan kepentingan masing-masing.

Chang Wendryanto menilai bahwa masyarakat pendatang memang perlu waktu yang cukup lama untuk bisa beradaptasi dengan budaya Yogyakarta. Namun, hal tersebut bukan suatu halangan yang perlu untuk diperdebatkan selama setiap pendatang mau menjunjung tinggi falsafah, “Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung”.

“Butuh waktu untuk menyesuaikan dengan warga Jogja,” ujar Chang.

Anggota DPRD DIY ini menilai bahwa perkembangan Yogyakarta hingga saat ini, diakui atau tidak, telah mampu mempengaruhi situasi secara nasional. Pasalnya, Yogyakarta saat ini telah menjadi barometer, sehingga masalah yang muncul di Yogyakarta akan berdampak sangat luas.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home