Loading...
HAM
Penulis: Melki Pangaribuan 17:29 WIB | Rabu, 21 Desember 2016

HRWG Sesalkan DPR Libatkan TNI dalam Revisi UU Terorisme

Revisi UU Terorisme Tetap Harus Sesuai Prinsip HAM dan Reformasi TNI
Ilustrasi. Polisi antiteror Indonesia membawa barang bukti yang disita dari sebuah rumah di Tangerang Selatan setelah baku tembak antara terduga teroris dan polisi pada 21 Desember 2016. Polisi Indonesia memupuskan rencana pengeboman bunuh diri Natal setelah melumpuhkan tiga terduga militan pada 21 Desember dan menemukan beberapa paket bom, ungkap otoritas. (Foto: AFP/Demy Sanjaya)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia menyayangkan sikap DPR menyetujui pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Revisi UU Terorisme yang diserahkan kepada Presiden.

Sebelumnya DPR melalui Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Muhammad Syafii menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Revisi UU Terorisme ke Pemerintah pada hari Rabu (14/12).

Menurut Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bertentangan dengan prinsip reformasi TNI yang seharusnya tidak masuk di ranah sipil.

“Lebih dari itu, pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR ini tidak memperhatikan lebih serius sejumlah pasal-pasal krusial di dalamnya yang berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia,” kata Hafiz dalam siaran pers, hari Rabu  (21/12).

Hafiz mengatakan, secara hukum, pelibatan TNI dalam operasi non-perang bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut dia, Pasal 7 (2) UU TNI memang menegaskan tugas TNI selain perang, namun hal itu harus dijalankan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

“Secara praktis, TNI sebagai benteng pertahanan Negara telah dilatih dengan doktrin mematikan, sehingga pelibatan TNI di ranah penanganan terorisme justru sangat berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia. Lebih dari itu, hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU khusus tentang perbantuan TNI yang seharusnya menjadi basis utama dalam pelaksanaan operasi non-perang TNI tersebut,” katanya.

Di samping permasalahan di atas, lanjut Hafiz, di dalam DIM tersebut masih terdapat sejumlah Pasal yang masih membuka peluang terjadinya pelanggaran hak-hak sipil setiap orang, seperti panjangnya masa penahanan, penahanan sementara yang masih samar operasionalnya, hingga ketentuan bagaimana korban terorisme dijamin hak-haknya.

Menurut dia, seharusnya, kasus kematian salah seorang terduga teroris, Siyono, menjadi pelajaran serius bagi DPR dan Pemerintah untuk menegaskan prinsip HAM dan rule of law di dalam penanganan terorisme.

“Hal ini dikarenakan panjangnya masa tahanan dan langkah membuat regulasi penahanan sementara terduga teroris justru membuka peluang terjadinya penyiksaan terhadap mereka yang belum tentu terlibat,” katanya.

“Di sisi yang lain, Indonesia hingga saat ini belum memiliki mekanisme pemantauan dan pencegahan penyiksaan yang memadai untuk menimalisasi tindakan-tindakan represif aparat dalam penegakan hukum, sejak awal penyelidikan hingga proses pengadilan,” dia menambahkan.

Apresiasi Densus 88

Sementara secara substantif, menurut Hafiz, Revisi Undang-Undang (RUU) juga tidak mengatur secara komprehensif bagaimana Negara menangani aksi-aksi radikalisme yang dalam banyak kasus berkaitan dengan jejaringan terorisme.

Dia mengatakan, sejumlah riset yang dilakukan oleh masyarakat sipil menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran aktor-aktor intoleransi, radikal dan menjadi terorisme, sehingga keberadaan kelompok-kelompok ini telah seharusnya disikapi secara serius dan komprehensif.

“Bila tidak, maka pemberantasan terorisme hanya akan berfokus di hilirnya saja, namun tidak berupaya untuk mencegah dan memotong benih-benih yang ada,” katanya.

“Secara praktis, hal ini tentu akan sangat sulit, namun RUU seharusnya pula mendiskusikan hal tersebut dan menegaskan aksi-aksi radikal yang bertentangan dengan hukum sepatutnya didekati dengan penegakan hukum agar tidak terus berkembang menjadi teroris,” dia menegaskan.

Sementara itu, HRWG mengapresiasi Detasemen Khusus (Densus) 88 yang telah menangkap sejumlah terduga teroris jaringan ISIS baru-baru ini, karena hak asasi manusia mengharuskan Negara untuk menjamin hak atas rasa aman setiap orang, termasuk dari ancaman teror mematikan.

“Lebih dari itu, HAM juga menegaskan prinsip-prinsip kunci yang tidak boleh dilanggar agar penanganan terorisme itu sendiri tidak mengancam hak setiap orang,” katanya.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home