Loading...
OPINI
Penulis: Anil Dawan 08:22 WIB | Senin, 30 Januari 2023

Memahami Krisis Membangun Resiliensi

Anil Dawan.

SATUHARAPAN.COM - Insiden kritis atau krisis adalah kejadian yang disebabkan oleh penyebab stres yaitu kejadian yang tidak biasa yang berpotensi menimbulkan stres dan mengakibatkan manusia membuat mekanisme perlindungan dan pertahanan diri dalam upaya mengelola untuk mengatasi dan mengendalikan situasi. Krisis psikologis merupakan suatu suatu respons manusia terhadap kejadian krisis misalnya seperti kondisi kedaruratan, bencana dan peristiwa yang menimbulkan trauma dan terorisme ataupun perubahan iklim dan cuaca.

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia sepanjang tahun 2022. Bencana yang paling banyak terjadi pada tahun 2022 adalah banjir, yakni 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1% dari total kejadian bencana nasional.Ada pula 1.062 peristiwa cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 gempa bumi, 26 gelombang pasang atau abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan.Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam pada tahun 2022 adalah jawa barat, yakni 823 kejadian. Diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 486 dan 400 kejadian. Seluruh kejadian bencana itu membuat lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang. Rentetan bencana tersebut mendorong semua pihak yaitu pemerintah, Lembaga agama dan masyarakat, pihak swasta serta dunia usaha dan akademisi perlu melakukan upaya-upaya kongkrit untuk memahamkan masyarakat memahami krisis dan juga membangun reseliensi.

Memahami Krisis Psikologis

Krisis Psikologis adalah respons terhadap insiden kritis seperti keadaan darurat, bencana, peristiwa traumatis, terorisme, atau berbagai peristiwa yang membuat manusia menderita (Everly & Mitchell, 1999). Oleh karena itu, krisis psikologis merupakan respons akut terhadap trauma, bencana, atau insiden kritis lainnya di mana terjadi homeostatis (keseimbangan) psikologis terganggu akibat stres yang meningkat, mekanisme koping seseorang yang biasa telah gagal, dan ada bukti penderitaan, gangguan, disfungsi yang signifikan (diadaptasi dari Caplan, 1964, Preventive Psychiatry). Pada tahap awal ketika mengalami krisis psikologis manusia mengalami resistensi atau perlawanan mengacu pada kekebalan dengan menjadi proaktif melalui pembentukan pelindung tubuh secara psikologis dengan langkah-langkah perawatan diri. Reaksi manusia terhadap pemicu stres (insiden) akan menjadi kurang intens dan dapat dikelola dengan lebih baik. Sedangkan resiliensi atau ketahanan terjadi setelah manusia dipengaruhi oleh stresor atau insiden. Namun manusia dapat bangkit kembali dengan cepat, terkadang dengan sedikit bantuan.

Membangun Reseliensi

Intervensi Krisis dilakukan melalui proses bantuan jangka pendek yang dirancang untuk menumbuhkan ketahanan reaktif. Intervensi ini dapat berfungsi sebagai platform untuk triase psikologis dan sistem rujukan untuk perawatan tingkat yang lebih tinggi. - Ini bukan psikoterapi, tapi ini disebut Pertolongan Pertama Psikologis (PFA) atau Dukungan Psikologis Awal (DPA) Triase psikologis merupakan - Menargetkan reaksi atau respon dan bukan kejadian atau kejadian itu sendiri. Beberapa pendekatan misalnya melalui Manajemen pengelolaan krisis dan insiden (CISM atau Critical Insident Stress Management).

Untuk lebih memahami apa itu intervensi krisis, pertama-tama kita perlu belajar sedikit tentang sejarah intervensi krisis. Ini mungkin termasuk beberapa konsep baru untuk manusia, yang akan dijelaskan terjadinya krisis. Untuk mulai dengan, akar sejarah praktik intervensi krisis saat ini, dapat ditemukan dalam psikiatri militer, kesehatan mental masyarakat, dan inisiatif intervensi pencegahan bunuh diri. Ketika terjadi Perang Dunia I (Perang Dunia I) – 1916, Pos medis darurat menggunakan teknik intervensi krisis daripada terapi multi-sesi untuk tentara. Intervensi krisis membantu sekitar 66% tentara kembali berperang setelah 7 (tujuh) hari. Terapi reguler membantu sekitar10% tentara untuk kembali ke garis depan. Dalam Perang Dunia II (Perang Dunia II) Sargant, W. (1942) menulis tentang Perawatan fisik neurosis perang yang mengerikan dalam British Medical Journal, 14 November 1942, hlm. 574-576: “Temuan kami yang paling penting adalah kebutuhan tertinggi untuk pertolongan pertama segera pada keadaan neurosis akut...”p 574).

Langkah Kelompok Pendukung

Intervensi krisis menyadari bahwa keadaan tertentu terkadang memerlukan penerapan kreatif dari prinsip intervensi krisis. Tahapan yang dilakukan untuk krisis dimulai dari tahap pertama yaitu stabilisasi yaitu proses menstabilkan emosi supaya kondisi tidak makin memburuk. Tahap kedua adalah mitigasi yaitu melakukan upaya pencegahan yaitu melakukan tindakan yang bisa dilakukan untuk menciptakan kondisi yang lebih baik. Tahap ketiga adalah memfasilitasi yaitu tahap dimana sebagai peer supporter melakukan assessment, dan mengindentifikasi kebutuhan dan tanda maupun gejala yang dialami oleh rekan yang membutuhkan dukungan dan menyiapkan intervensi yang dibutuhan. Tahap Empat adalah menyalakan harapan. Seorang yang terdampak krisis dan stres biasanya mengalami keterpurukan.

Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai kelompok pendukung, maka kita perlu selalu bekerja dengan bimbingan dan dukungan kesehatan mental professional. Dukungan sebaya kelompok pendukung dalam pertolongan pertama hanyalah satu poin dalam keseluruhan rangkaian perawatan. Ada pilihan lain dan sistem rujukan yang harus kita waspadai. Seorang pendukung sebaya atau kelompok pendukung harus tahu kapan dia berada di atas (ketika situasinya terlalu besar atau terlalu rumit untuk ditangani dengan risiko meremehkan tingkat keparahan). Mewaspadai terjadinya counter transference: jangan terlalu dekat secara emosional dengan orang yang kita bantu; hati-hati untuk terlalu mengidentifikasi dengan orang atau kelompok; menyadari mengambil terlalu banyak untuk diberikan, mencegah terjadinya stress sekunder dimana sebagai penolong dan kelompok pendukung, kita bisa mengalami stres sekunder. Jangan lupa berdoa mempercayakan proses pendampingan PFA kita kepada Tuhan dalam iman, kasih dan pengharapan, sambil terus melakukan self care perawatan diri supaya terus sehat mental. Semoga masyarakat Indonesia makin memahami dan mampu mengantispasi krisis dan membangun resiliensi untuk membangun Indonesia yang tangguh.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home