Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 21:53 WIB | Rabu, 25 Maret 2015

Jatam Berharap Tidak Ada Lagi Korban Lubang Tambang

Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur divisi Riset dan Pendidikan, Mareta Sari. (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Aktivis Jaringan Advokasi  Tambang (Jatam) Kalimantan Timur divisi Riset dan Pendidikan, Mareta Sari berharap, tak ada korban susulan terkait insiden meninggalnya sejumlah anak-anak akibat lubang tambang yang rubuh, 22 Desember 2014 lalu.

Dia menerangkan, sepanjang 2011-2014 lalu, sedikitnya 9 anak meninggal akibat lubang tambang menganga. Terlebih, kondisi tersebut mengakibatkan sejumlah anak bermain bebas di sekitar lokasi.

"Kondisi Samarinda saat ini, ada 71 persen dari luar kota Samarinda sendiri oleh 52 usaha pertambangan," kata Mareta dalam diskusi dengan tema “Lubang Tambang Pencabut Nyawa” di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (25/3) sore.

Dengan adanya pertambangan, kata Mareta, lingkungan di Samarinda kini juga tak sehat. Apalagi, lokasinya tak jauh dari pemukiman penduduk, mengingat jumlahnya mencapai 71 persen.

Mengenai adanya lubang tambang yang menganga dekat pemukiman, Mareta lantas mencontohkan dengan rumah Rahmawati yang anaknya, M Raihan Saputra, menjadi salah satu korban tewas di bekas galian PT Graha Benua Etam  (GBE) pada 2011.

"Pertambangan di Samarinda sendiri sudah merusak sumber-sumber kehidupan yang tidak layak, seperti air bersih, udara yang sehat, kemudian tanah yang baik untuk pertanian maupun perikan dan lain-lain,"  kata dia.

Menurut dia, hal tersebut tak lepas dari sikap abai pemerintah setempat, lantaran mengizinkan pengusaha membangun usaha pertambangan. Bahkan, standar hidup sehat turut diabaikan.

Dengan demikian, lanjut Mareta, Jatam menyimpulkan, wilayah yang menjadi lokasi eksplorasi tak lagi layak dihuni masyarakat, menyusul banyaknya asap dan warga mengambil air langsung dari bekas air tambang.

"Masyarakat tidak tahu, air itu mengandung logam berat juga tingkat keasaman tinggi. Sehingga, dia dan keluarganya, juga dengan warga sekitar, tanpa sadar terus mengonsumsi bekas air tambang tersebut," kata dia.

Atas kondisi itu, Mareta menerangkan, sejak 2012 silam ada gerakan Samarinda Menggugat. Apalagi pasca sebulan Rehan meninggal, para aktivis menyerahkan rekaman memori banding ke Pengadilan Negeri (PN) setempat.

"Itu ditujukan kepada pemerintah kota. Tapi lagi-lagi, hasil putusan tanggal 16 Juni 2014, mengecewakan pada korban dan masyarakat," katanya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home