Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 21:07 WIB | Selasa, 10 November 2015

Kasus 1965, Pengadilan Rakyat Tuntut RI Minta Maaf

Logo Pengadilan Rakyat di Den Haag. (Sumber: screenshoot)

DEN HAAG, SATUHARAPAN.COM – Todung Mulya Lubis dan enam pengacara lain menjadi jaksa dalam International People’s Tribunal—Pengadilan Rakyat—di Den Haag, Belanda, Selasa (10/11) . Kasusnya adalah pembantaian massal pasca terbunuhnya perwira teras militer Angkatan Darat TNI pada 1 Oktober 1965 subuh.

Pada pagi hari waktu setempat atau sore waktu Indonesia bagian Barat, Todung Mulya Lubis mulai membuka persidangan dengan membacakan dakwaan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas pembantaian massal.

Pengacara lain yang terlibat—karena alasan keamanan nama-nama mereka baru diumumkan hari ini—adalah Silke Studzinsky, Agustinus Agung Wijaya, Sri Suparyati, Antarini Arna, Uli Parulian Sihombing, dan Bahrain Makmun.

Pengadilan yang berlangsung hingga Jumat (13/11) dan pembacaan keputusan pada 2016 di Jenewa ini berupaya untuk mengungkap peristiwa pembantaian di Indonesia antara tahun 1965 sampai 1966.

Setelah 50 tahun, peristiwa 1965 masih jadi isu sensitif di Indonesia. Ketika itu, diperkirakan sekitar satu juta orang yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dikejar-kejar, dibunuh, dibantai, disiksa dan dianiaya. Anak-anak serta keluarga mereka mengalami represi selama puluhan tahun di bawah pemerintahan Orde Baru Jenderal Soeharto. Dan hingga kini belum ada pemeriksaan atas kasus itu.

Koordinator Umum Penyelenggara International People's Tribunal, Nursyahbani Katjasungkana, berharap, pemerintah Indonesia dalam pengadilan itu meminta maaf kepada keluarga korban pembunuhan massal pasca-peristiwa G-30-S 1965. Permintaan maaf ini dikatakan sebagai langkah awal pengakuan terhadap kejahatan kemanusiaan yang melibatkan pemerintah Indonesia.

Sidang diketuai dua hakim internasional, termasuk seorang hakim dari Afrika Selatan, kata anggota panitia, Joss Wibisono.

"Hakim bertanya apakah ada pihak lain yang hadir, selain saksi dan jaksa. Sebenarnya, dia bertanya tentang hal itu karena ia berharap pemerintah Indonesia datang, tetapi ternyata tidak datang. Ia menyesalkan ketidakhadiran pemerintah Indonesia," kata Joss Wibisono.

Pemerintah Indonesia tidak mengakui proses yang berlangsung di Den Haag, Belanda ini.

"Pemerintah Indonesia sudah mempunyai proses tersendiri untuk rekonsiliasi terkait dengan sejarah kita yang masa lalu itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir.

"Baik pemerintah yang sebelumnya maupun yang saat ini sudah mengambil beberapa langkah dalam upaya untuk merealisasikan rekonsiliasi," katanya.

Sidang Pengadilan Rakyat Internasional 1965 tidak menginduk ke badan-badan resmi sehingga proses maupun keputusan sidang tidak mempunyai kekuatan hukum. (Rapler/dw.de/1965tribunal.org/BBC)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home