Kasus Ahok Lebih Bernuansa Politik daripada Hukum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengajar Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho mengatakan kasus yang saat ini membelit Gubernur DKI Jakarta lebih kental nuansa politik daripada aspek hukum.
“Kalau saya melihat ini memang nuansa politiknya tinggi sekali, bapak ibu bisa lihat berita berita yang akhir akhir ini beredar, sampai-sampai DPR-RI akan menggunakan hak angket,” kata Hibnu Nugroho saat memberi materi di seminar “Haruskah Kepala Daerah Status Terdakwa Dinonaktifkan”, di Grha Oikoumene, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta, hari Jumat (17/2).
Hibnu menilai sesungguhnya jika melihat proses yang terjadi, seharusnya hak angket bukan dimulai dari DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), namun seharusnya dimulai terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. “Tetapi ini kok saya lihat DPRD enjoy saja,” dia menambahkan.
Hibnu menilai penggunaan hak angket terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dinilai kurang tepat, karena seharusnya DPR-RI paham hak anget diberlakukan saat negara berada dalam keadaan yang sedemikian chaos atau genting, atau dalam kondisi yang tidak terkendali.
“Sehingga inilah yang saya kira kalau ada yang kasus ini bernuansa politis dan saya anggap (hak angket) ini berlebih-lebihan,” kata Hibnu Nugroho.
Hibnu mengatakan seharusnya masyarakat dalam menilai status pengaktifan kembali atau pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama maka langkah terbaik yakni menunggu keputusan dari pengadilan yang saat ini tengah menyidangkan Ahok dalam kasus dugaan penodaan agama.
“Apa masalahnya, karena Ahok juga punya kedudukan,” kata dia.
Hibnu mengatakan perdebatan yang sengit di tengah-tengah masyarakat mengenai dugaan penodaan agama hingga pengaktifan kembali Ahok dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kepala daerah, tidak akan t berlarut-larut apabila saat ini tidak berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung secara serentak di Indonesia.
“Kalau ini bukan masalah Pilkada, maka konstruksi hukumnya jelas, membaca UU (Undang-Undang) harus jelas tidak bisa parsial, tidak bisa pasal satu, dan atau dua saja,” kata dia.
Dia mengemukakan tidak mudah kepala daerah diberhentikan kecuali ada kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan kepala daerah.
Pasal 83 UU No.23 Tahun 2014
Hibnu mengemukakan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), secara filosofi hukum, merupakan UU yang memberi perlindungan kepada aparat daerah dan jajarannya.
Hibnu mengatakan dalam pengejawantahan UU tersebut, masyarakat jangan melupakan kehadiran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).
Dia menjelaskan, bila dalam pemerintahan seorang kepala daerah, baik gubernur, bupati, kepala dinas, dan lain sebagainya tidak serta merta penegak hukum langsung intervensi dan mengambil tindakan hukum, tetapi harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP.
“APIP yang menilai apakah kejahatan ini bisa diselesaikan internal atau harus dilimpahkan penegak hukum, makanya prinsip ini sama dalam kasus Ahok, dan pemerintah daerah harus menjaga kewibawaan,” kata dia.
Dia menyesalkan karena saat ini di berbagai perbincangan di berbagai stasiun televisi, dan media besar lainnya, obrolan tentang pengawasan internal tersebut tidak disinggung karena banyak orang berfokus hanya kepada vonis maksimal atau minimal lima tahun hukuman penjara yang diberikan kepada Ahok.
“Oleh karena itu kalau membaca UU seperti itu harus membaca kaidah spiritnya,” kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Pidato Penerima Nobel Perdamaian: Korban Mengenang Kengerian...
OSLO, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria Jepang berusia 92 tahun yang selamat dari pengeboman atom Amerika...