Loading...
INSPIRASI
Penulis: Anil Dawan 10:31 WIB | Selasa, 24 Januari 2023

Keluarga Mampu: Satu Hati Saling Membantu

Ilustrasi. Pixabay

SATUHARAPAN.COM - Kohesi Sosial dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga inti, keluarga besar dan kerabat dekat, dan pada akhirnya jejaring relasi ditengah masyarakat. Peristiwa meninggalnya satu keluarga di Kalideres menunjukan bahwa potret kohesi sosial dimasyarakat menyiratkan cermin retak yang menggambarkan relasi keluarga tidak utuh dan rapuh. Kemanusiaan kita tercekat, saat lamat-lamat mengingat bagaimana satu keluarga di Kalideres meninggal dunia dalam satu rumah. Kronologis duka beruntun itu dimulai dari Rudyanto (71Th) Kemudian korban kedua yang meninggal yaitu Reni Margaretha Gunawan (68 Th). Dari hasil pemeriksaan Reni meninggal karena menderita sakit kanker payudara. Lalu korban ketiga yang meninggal adalah Budyanto karena serangan jantung, dan terakhir Dian disebabkan oleh gangguan pernapasan. Peristiwa ini menggores duka pada kemanusiaan kita, bagaimana tidak? Ditengah jaman modern dan padatnya penduduk dan kemajuan teknologi, masih terjadi ada pribadi-pribadi yang luput dari perhatian, dukungan untuk tetap hidup dan berjuang memenangkan kehidupan.

Selain karena sakit, keempat korban juga diduga ada dalam kepasrahan secara psikologi menghadapi kematian setelah sempat berusaha tapi tak membuahkan hasil. Ditambah keluarga Kalideres ini telah mengasingkan diri dari kerabat-kerabatnya selama dua dekade terakhir. Akibat sangat lama tidak ada komunikasi, maka meminta pertolongan dari keluarga kerabatnya menjadi berat. Dari kejadian ini menunjukkan bahwa relasi dan komunikasi dalam keluarga inti, maupun keluarga besar sangat dibutuhkan terutama kepeduliaan dan sikap tolong menolong satu dengan yang lainnya untuk menjaga supaya keluarga tetap utuh dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan termasuk kesulitan ekonomi, ataupun mengalami sakit penyakit yang berat. Setiap keluarga membutuhkan dukungan dari keluarga-keluarga lainnya dan masyarakat disekitarnya.

Putusnya Komunikasi Jarang Bersosialiasi

Selain keluarga, keempat orang itu juga dikenal para tetangga sebagai keluarga yang jarang bersosialisasi. Padahal, keluarga itu telah menghuni rumah di Perumahan Citra Garden 1, Kalideres, Jakarta Barat, sejak 1997. Hanya ada segelintir orang yang pernah akrab dan berkomunikasi dengan keluarga tersebut. Seperti tetangga sebelah rumah, ketua RT setempat, pedagang jamu langganan, dan pedagang kue di pasar yang kerap dititipkan produk jualan oleh keluarga itu. Bagi pedagang jamu dan pedagang kue, Dian dan Margaretha dikenang sebagai orang yang ramah dan berkesan baik. Manusia pada hakekatnya adalah mahkluk spiritual sekaligus mahkluk sosial. Sebagai mahkluk spiritual, manusia memiliki kebergantungan kepada Tuhan Sang Penciptanya. Iman kepercayaan kepada Tuhan Sang Pencipta membuat keyakinan akan bertumbuh. Iman keyakinan akan menjadi jangkar yang kuat untuk menghadapi hantaman badai dan gelombang pasang kehidupan. Sedangkan sebagai mahkluk sosial manusia memiliki kerinduan untuk berelasi dan berkomunikasi. Interaksi sosial dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Keluarga memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan interkasi sosial yang penuh cinta kasih kepada masing-masing anggotanya. Dalam lingkup masyarakat, keluarga juga perlu mengembangkan interaksi sosial dengan tetangga disekitarnya. Kegiatan kebersamaan di lembaga agama, di lingkup RT/RW hingga desa dan kampung merupakan ruang sosial yang ideal untuk antar keluarga saling mengenal dan berinteraksi. Kemajuan teknologi, melalui jejaring sosial ataupun grub whatsap juga bisa menjadi sarana berinteraksi saling bertegur sapa, berbagi kisah cerita, ataupun saling bertukar informasi dan ruang untuk saling tolong menolong.

Keluarga Kuat Beban Bersama Diangkat

Harus diakui bahwa sebuah keluarga pasti akan menghadapi tantangan dan perubahan dalam hidup. Keluarga perlu menjadi kuat untuk menghadapinya tantangan dan mampu beradapatasi dengan semua perubahan hidup dengan segala pasang surutnya. Seringkali keluarga mempercayai hal-hal yang mengatakan bahwa mereka tidak mampu untuk mencapai tujuan tersebut. Sama seperti gajah besar yang percaya bahwa dia tidak mampu untuk melepaskan diri dari ikatan tali kecil yang mengikatnya, karena sejak kecil gajah tersebut sudah diikat dengan tali. Tali pengikat itu tidak bisa dilepaskan, bukan karena kuatnya tali, tapi karena mindset ketidakmampuan melepaskan diri dari ikatan tali itu sudah tertanam sudah lama. Sama dengan analogi gajah tadi, banyak manusia tak mampu melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan keadaan buruk yang dialami, karena ada dilapisan mindset ketidakmampuan yang bercokol lama. Oleh karena itu setiap keluarga perlu kembali melihat apa yang menjadi rencana Tuhan dalam keluarga, mengenali tantangan-tantangan yang dihadapi dan menemukan potensi dalam keluarga untuk menghadapi setiap tantangan.

Dalam riset yang berjudul “Turning Point as Opportunities for Psycological Growth” Ellaine Wethingthon (2003) menyatakan bahwa pengalaman hidup yang sulit dan kegagalan justru mengajarkan lebih banyak pembelajaran diri daripada keberhasilan. Laki-laki banyak belajar dari kegagalan dalam karier dan pekerjaan, sedangkan perempuan lebih banyak belajar dalam membangun relasi khususnya keluarga. Pengalaman sulit dan gagal mengajarkan arti kekecewaan, mengajarkan perubahan, adaptasi atau penyesuaian dan kesadaran baru yang positif, menghindarkan dari kesalahan yang sama, cara untuk mengatasi depresi. Nasehat sabda bijak juga menegaskan supaya kita diminta untuk “bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu” yang menegaskan bahwa setiap manusia harus memiliki kesalingan menolong dan saling membantu, terutama dalam mengangkat beban hidup. Kata beban disini bukan menunjuk pada beban biasa, namun beban berat yang tidak sanggup untuk dipikul sendirian. Oleh karenanya dalam upaya untuk terus membangun keluarga yang mampu, maka setiap anggota keluarga seharusnya memiliki kesatuan hati untuk saling membantu. Tak hanya dalam konteks keluarga inti, akan tetapi juga dalam relasi kekerabatan dengan keluarga besar, dan juga relasi dalam bertetangga dan bermasyarakat. Kita juga perlu terus membiasakan membangun kerukunan sebagai nilai estetika dan kebiasaan untuk saling peduli dan berbagi. Kata rukun dalam bahasa aslinya adalah “yachad” yaitu bermufakat sepakat sehingga beban berat bisa diangkat. Disanalah juga Tuhan Sang Pemurah akan mencurahkan berkat.

Quote:

“Sesungguhnya tak ada beban yang berat yang tak bisa diangkat, jika setiap manusia bertekad sepakat mengangkat, maka Tuhan Sang Sumber Berkat melimpahkan berkat. Dengan saling membantu kita pasti mampu."


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home