Lakpesdam NU: IMB Rumah Ibadah Alasan Suburkan Intoleransi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama mengatakan, izin mendirikan rumah ibadah bukanlah akar masalah utama dari kasus-kasus kekerasan atas nama agama. “Itu hanya alasan yang dicari-cari untuk membenarkan dan menyuburkan tindakan intoleransi,” katanya.
Rumadi, yang juga adalah Komisioner Komisi Informasi Pusat, menyatakan pendapatnya dalam Konferensi Pers Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Selasa (13/0) di Grha Oikoumene, Jakarta Pusat terkait pembakaran gereja di Aceh Singkil.
“Kejadian di Aceh Singkil—yang entah mengapa mirip dengan kejadian di Tolikara, Papua, yaitu berdekatan dengan hari raya—menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang sakit. Negara kita sedang sakit,” katanya. “Kalau hanya masalah izin mendirikan rumah ibadah, banyak kok masjid-masjid yang sampai sekarang ini belum mempunyai izin mendirikan rumah ibadah,” peneliti senior di The Wahid Institute ini menambahkan.
Ia menekankan karena masyarakat sakit, maka para tokoh masyarakat, mereka yang berpengaruh harus menyembuhkan. “Sebab, pada dasarnya orang Indonesia itu toleran, tetapi karena sedang sakit, terserang virus intoleran, hal-hal itu dapat memicu kekerasan,” katanya. Ia juga menambahkan, ada orang-orang yang memanfaatkan masalah ini untuk kepentingan politik mereka.
Dua Gereja Dibakar
Dalam konferensi pers, PGI menjelaskan kronologi kasus pembakaran gereja di Aceh Singkil. Dimulai dengan massa Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil pada Selasa, 6 Oktober 2015 lalu menggelar unjuk rasa. Mereka mendesak pemerintah yang tidak memiliki izin dibongkar. Mereka mengancam jika sampai Selasa pekan depannya tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka sendiri yang akan membongkar.
Pada Senin (12/10) Bupati Aceh Singkil Safriadi, Musyawarah Pemimpin Daerah, ulama, ormas Islam serta tokoh masyarakat setempat secara sepihak sepakat untuk membongkar 10 gereja dalam kurun waktu dua pekan. Pembongkaran dilakukan mulai 19 Oktober. Gereja-gereja yang dibongkar, pengurusnya diminta untuk mengurus izin. Pengurusan izin harus memenuhi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 8 dan No 9 Tahun 2006 dan Peraturan Gubernur Aceh No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah.
Kesepakatan tersebut diambil untuk menenangkan massa yang menuntut pembongkaran pada 13 Oktober. Walau sudah ada kesepakatan, aksi perusakan dan pembakaran oleh massa yang bersenjata tajam dan bambu runcing tetap terjadi. Juga diduga ada dua warga tewas, ada yang menduga tembakan dari aparat. Namun, ada juga korban tewas akibat terkena senjata rakitan.
Menurut PGI, Dua gereja yang dibakar massa itu ada di Desa Gunung Meria Singkil, yaitu Huria Kristen Indonesia dan Gereja Katolik. Selain itu, terjadi penganiayaan terhadap Pdt Erde Berutu STh yang mempertahankan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi Kuta Karangan Kab. Aceh Singkil. Pdt Berutu berusaha melindungi GKPPD dari perusakan massa. Pada akhir Agustus lalu, GKPPD Mandumpang—juga di Aceh Singkil—dibakar.
“Terjadi eksodus orang Kristen dari Aceh Singkil setelah terjadi pembakaran dua gereja,” kata Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow “Di perbatasan Aceh Singkil dan Sumatera Utara juga terjadi sweeping warga yang hendak masuk dan keluar,” ia menambahkan.
Maarif Institute
Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq dalam konferensi pers menyatakan bahwa pemerintah dan aparat harus cepat dan transparan mengusut kasus intoleransi di Aceh Singkil.
“Makin lama penyelesaian membuat berita menjadi simpang siur yang memicu munculnya informasi-informasi menyesatkan yang memnacing kekerasan di waktu dan tempat lain,” katanya.
Fajar Riza Ul Haq. (Foto: Bayu Probo)
Ia juga menekankan, "Keadilan harus ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat, tidak sebatas untuk satu kelompok. Polisi harus mengungkap motif dan otak mobilisasi massa. Padahal, sudah ada kesepakatan bupati tentang pembongkaran gereja pada 19 Oktober. Massa intoleran sudah melanggar kesepakatan dan bertindak main hakim sendiri.”
Ia juga menyinggung tentang tuduhan bahwa jemaat telah melanggar kesepakatan terkait pembangunan gereja. “Ini harus diungkap alasannya. Apakah karena kondisi memaksa mereka melanggar, misalnya dipersulit perizinannya atau didorong motivasi mereka sendiri," kata Sekretaris Jenderal Barisan Indonesia ini.
Konferensi pers dihadiri oleh Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Rumadi Ahmad, Komisoner Komisi Nasional Hak Asasi (Komnas HAM) Imdadun Rahmat, Ketua Umum PGI Pdt Henriette Tabitha Hutabarat Lebang, Wakil Sekretaris Umum PGI Pdt Krise Anki Rotti-Gosal, Kepala Humas PGI Jeirry Sumpampow, Peneliti Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sudarto, dan Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq.
Mataram Mampu Produksi 20 Ton Magot
MATARAM, SATUHARAPAN.COM - Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) modern di Sandubaya, Kota Mataram...