Loading...
SAINS
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 08:59 WIB | Senin, 30 Oktober 2017

Menanam Air, Ikhtiar Menanam Kehidupan

"Menanam Air #44" oleh I Wayan Sudarna Putra (celana putih) di Indieart house, Tirtonirmolo-Kasihan, Bantul, Jumat (25/10). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perupa asal Bali, I Wayan Sudarna Putra, atau biasa dipanggil Nano, Jumat (25/10) sore menanam sebatang bibit jambu bol jamaika (Syzygium malaccensis) di halaman Indieart House, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul.

Tidak ada yang istimewa dalam kegiatan penanaman tersebut. Terlebih ketika hanya ditanam sebatang bibit pohon setinggi 60 cm. Nano memberikan tajuk "Menanam Air". Bagi sebagian orang tajuk tersebut mungkin berlebihan, bagaimana menanam sebatang bibit menjadi sebuah aktivitas menanam air?

Nano membuat proyek pribadi Menanam Air sejak 2014. Hingga Oktober 2017 telah ditanam 43 batang bibit pohon, dan penanaman di halaman Indieart House adalah Menanam Air #44.

"Tidak semua bibit ditanam bisa hidup. Ada beberapa yang mati." kata Nano kepada satuharapan.com Jumat (25/10) sore. Perawatan bibit setelah penanaman diserahkan kepada pemilik lahan tanam, ini tidak sepenuhnya bisa diawasi oleh Nano.

Hal yang menarik dari "Menanam Air" yang dilakukan oleh Nano adalah memberikan naungan pada bibit yang ditanam dengan anyaman bambu yang menutupi bibit. Dalam fase pertumbuhan pohon, bibit pohon semi-toleran terhadap naungan.

Adanya naungan tersebut memberikan kesempatan pada bibit untuk tidak terpapar langsung sinar matahari. Dengan adanya naungan, bibit akan tumbuh secara optimal ke atas, menahan iklim mikro dalam area yang sangat sempit di sekitar bibit agar terjaga kelembabannya, dan bentuk anyaman memungkinkan terjadinya sirkulasi udara di sekitar bibit.

Cukup menyiram secara teratur, sesungguhnya akan terjadi proses fotosintesa pada bibit yang menjadi asupan bagi pertumbuhannya: udara ditambah air dengan bantuan klorofil pada daun akan menghasilkan karbohidrat (C6H12O6) yang diperlukan untuk pertumbuhan bibit dan menambah suplai O2 (oksigen) bagi lingkungan sekitar.

Dalam hal material bambu untuk naungan, Nano menjelaskan bahwa pemilihan tersebut untuk kepraktisan semata.

"Bahannya cukup berlimpah, murah, dan dalam jangka waktu tertentu akan rusak secara alami. Asumsi saya setelah 3-6  bulan, bibit sudah bertambah tinggi. Kekhawatiran saya pada gangguan bibit dari serangan ternak unggas (ayam) yang akan merusak pucuk daun. Setelah bibit cukup besar, naungan bisa dibuka atau dibiarkan tetap terpasang namun perlu diperhatikan jangan sampai mengganggu pertumbuhan bibit." jelas Nano. Dalam pengeringan yang tepat, di bawah sinar matahari ataupun guyuran hujan anyaman bambu bisa bertahan hingga dua belas bulan.

Seni tidak hanya berhubungan dengan ekspresi personal semata, namun juga berhubungan dengan orang lain di luar seniman, yang melihat dan menikmati nilai seni yang disebut juga sebagai nilai estetika. Nilai estetika yang dimaksud adalah sebentuk nilai yang menjadikan sebuah wujud karya dapat menggugah rasa masyarakat luas sebagai penikmat, secara sederhana nilai itu adalah sebuah keindahan. Di titik ini, Nano mencoba menawarkan dua hal berbeda dalam satu kemasan aktivitas: memfungsikan karya seni dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah aktivitas seni kejadian (yang diharapkan) berdampak.

Masyarakat Bali mengenal kesadaran Tri Hita Karana yang menggambarkan hubungan manusia dengan manusia (pawongan), hubungan manusia dengan lingkungan (pelemahan), dan hubungan manusia dengan Tuhan (pariangan), dimana kesejahteraan pada dirinya tidak bisa terlepas dari makro ekologi yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan kesadaran itu tercermin dalam bentuk penghormatan pada tumbuhan yang dirayakan secara simbolik enam bulan sekali dalam upacara Tumpek Uduh (pengatag).

Menanam air sebagai sebuah gerakan kesadaran sesungguhnya melewati dua fase  awal yakni menanam pohon dan merawat pohon. Dalam dua fase tersebut bisa ditandai dengan pertumbuhan bibit menjadi pohon dengan batang, percabangan, serta dahan yang secara alami. Dalam pertumbuhan yang normal ditandai dengan pertumbuhan tinggi pohon dan daun, menjadi gambaran pertumbuhan pohon di bawah permukaan tanah: akar. Pada pohon yang sehat, sistem perakaran pohon bisa mencapai 2,5 kali luas tajuk (kanopi) pohon. Tidak berlebihan, ketika menanam pohon dan merawatnya sesungguhnya menjadi ikhtiar awal menanam air pada suatu wilayah.

Pemilihan jenis tanaman, jarak tanam, ataupun waktu penanaman hanyalah masalah teknis yang bisa dilakukan kapan pun. Dengan perakaran yang sehat, pohon kayu jenis apa pun memiliki kemampuan menyimpan air, meskipun pada jenis tertentu semisal polong-polongan (Leguminaceae) memang memiliki tingkat evapotranspirasi yang cukup tinggi. Toh, pemilihan jenis lain masih cukup berlimpah.

Kendala terbesar adalah ketersediaan lahan sebagai media tempat tumbuh dan keinginan untuk menanam-merawat terlebih pada saat lahan menjadi barang yang mewah saat ini. Di saat lahan menjadi perebutan ruang hidup bagi manusia dengan berbagai aktivitas di atasnya, konversi ruang terbuka hijau yang menjadi salah satu daerah resapan air menjadi tidak terhindarkan.

Menanam air, yang bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai "kegenitan", bisa jadi justru sebaliknya sebagai ikhtiar menanam kehidupan. Ada saatnya menanam air dan ada saatnya memanennya, dan saat itulah menjadi awal untuk menanam kehidupan.

Air bersih yang dinikmati warga Yogyakarta hari ini melalui sumber air bawah tanah adalah panen hujan yang turun dua puluh tahun silam di kaki Gunung Merapi. Terbayangkan berapa jauh dan lama perjalanan air menjadi sumber kehidupan?

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home