Loading...
INDONESIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 21:00 WIB | Senin, 07 Juli 2014

Mengenal Politik Uang dalam Pemilu

Amalinda Savirani, MA (kiri), Arya Bimo (tengah) dan Dr. Mada Sukmajati (kanan) dalam pemaparan vote buying dan vote trading. (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam penyelenggaraan pemilu, sudah tidak asing lagi dengan politik uang yang merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh calon legislatif atau calon presiden untuk menang dalam pemilihan umum. Amalinda Savirani MA, dosen fakultas ilmu sosial dan politik Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa ada dua macam politik uang dalam pemilu yaitu vote buying (pembelian suara) dan vote trading (perdagangan suara).

“Politik uang ini kita bedakan menjadi dua yaitu vote buying yang artinya pembelian suara dari calon pemilih atau negara yang dibeli suaranya dan vote trading yaitu jual-beli suara,” kata dia dalam konferensi pers yang digelar di Media Center JKW4P, Jakarta Pusat, Senin (7/7).

“Perbedaan antara vote buying dan vote trading itu terkait dengan standarnya. Kalau vote buying biasanya ketengan (eceran) yang dilakukan oleh calon pemilih tapi kalau vote trading itu dalam partai besar yang biasanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu.”

Menurutnya, vote trading ini bisa terjadi karena tiga perspektif atau pola pikir. Perspektif yang pertama yaitu perspektif psikologis yaitu jaringan kontestan pemilu presiden di tingkat lokal dan dikomandani oleh orang lokal pada umumnya yang memiliki relasi yang kuat dengan penyelenggara pemilu. Seringkali para penyelenggara pemilu adalah sanak keluarga dan kerabat jaringan lokal. Jaringan ini mudah diaktivasi untuk pemenangan satu kontestan pilpres melalui manipulasi suara.

Kedua, perspektif rational choice adalah penyelenggara pemilu bertindak sesuai dengan kepentingan yang mereka miliki termasuk kepentingan material.

Ketiga adalah perspektif institutionalis yaitu minimnya alat kontrol yang sistematis terhadap penyelenggara pemilu oleh KPU RI. Akibatnya, terbuka ruang yang lebar bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan manuver NPWP (Nomor Piro Wani Piro).

Amalinda menyatakan bahwa untuk mengawal suara rakyat ini kuncinya ada di saksi resmi pasangan calon dan relawan. Saksi perlu mengawal proses penghitungan suara di TPS sampai tuntas. Saksi juga harus memiliki C-1 yang menjadi dokumen hasil penghitungan di tingkat TPS yang sama datanya dengan yang dimiliki oleh TPS.

Formulir ini akan menjadi basis mengontrol rekapitulasi suara di tingkat desa, kecamatan dan tingkat administrasi selanjutnya. Yang sering terjadi, saksi meninggalkan TPS sebelum penghitungan suara selesai dilakukan. Penghitungan suara berlangsung saat kondisi orang suda lelah (malam hari). Sehingga sering tak memungkinkan untuk awas terhadap penghitungan suara.

Menurutnya, dengan keterbatasan tersebut diperlukan adanya relawan yang akan mengawal jalannya penghitungan suara meskipun memiliki keterbatasan jangkauan misalnya tidak akan bisa mengawal suara sampai dengan KPU RI. Namun, gerakan masyarakat sipil secara lebih luas perlu terus diperkuat. Sekedar hadir berkelompok di TPS saat penghitungan suara akan menghasilkan efek “deterrence” (menahan orang untuk melanggar sesuatu atau tidak berani karena diawasi orang banyak).

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home