Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:16 WIB | Rabu, 28 Oktober 2015

Menghidupkan Sumpah Pemuda

Peserta Kongres Pemuda II yang pada 28 Oktober menghasilkan Sumpah Pemuda. (Foto: dari Wikipedia)

SATUHARAPAN.COM – Gema ikrar pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 merupakan tonggak penting dalam perjalanan bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan sebagai sebuah negara yang berdaulat. Namun ikrar yang digaungkan pada 87 tahun lalu tidaklah cukup untuk menyemangati kehidupan bangsa dan negara hanya dengan hingar-bingar upacara.

Ikrar itu menjadi pengikat penting bagi kesatuan sebagai bangsa. Namun ikatan itu belakangan ini justru tampak semakin kendor.  Upacara dan pidato-pidato kosong pada setiap 28 Oktober tidak cukup untuk mampu menjaganya sebagai kekuatan pengikat bangsa.

Negara Kesatuan Indonesia masih berdiri dengan wilayah sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus. Namun ikatan di antara warga bangsa memiliki masalah-masalah yang serius, karena semangat Sumpah Pemuda terlihat makin pudar, dan tenggelam oleh peringatan yang miskin makna.

Tanah Air Indonesia

Para pemuda menyerukan Indonesia sebagai Tanah Air dan Tanah Tumpah Darah. Pernyataan yang heroik ini sekarang diperhadapkan dengan kenyataan masih adanya warga bangsa yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri, seperti yang dialami oleh penganut Islam Ahmadiah.

Butir sumpah yang pertama ini berhadapan dengan kenyataan tentang praktik diskriminatif atas dasar agama dan keyakinan, dan juga hak-hak masyarakat adat yang dilanggar. Praktik yang demikian memposisikan sebagian warga bangsa terus dirundung perasaan seperti orang ‘’asing’’ di negeri sendiri.

Secara ekonomi, kekayaan yang terkandung di dalam Tanah Air masih banyak yang memberi keuntungan besar bagi bangsa asing dalam praktik penguasaan perkebunan dan tambang. Sementara ada warga yang hanya berada di pinggir, menonton dengan hati yang terluka.

Produk-produk pertanian dari Tanah Air dari tangan-tangan warga bangsa sendiri dipingirkan oleh produk luar yang masuk secara ilegal. Kekayaan laut dikeruk dan hasilnya lari ke negeri orang lain, sementara nelayan sendiri melihat dengan takut karena ancaman.

Ikra: ‘’Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia,’’ harus dihidupkan secara nyata menjadi kekuatan untuk mengatasi masalah tersebut.

Bangsa Indonesia

Kita berikrar sebagai satu bangsa dalam keniscayaan yang bhineka; menjadi kesatuan justru karena memiliki keberagaman. Kebangsaan hanya kuat diikat oleh perasaan senasib. Dulu perasaan senasib dalam menghadapimpenjajah. Sekarang, mampukah membangun perasaan senasib dalam pembangunan?

Memperlebar gap antar kelompok dan golongan adalah penyakit berbahaya bagi kesatuan bangsa. Dan kita masih menyaksikan gap yang makin lebar antara yang kaya dan miskin; jurang kemajuan dan keterbelakangan masih lebar antara daerah satu dan lainnya. Nepotisme dan kepentingan kelompok masih menonjol sehingga setiap warga tidak memperoleh peluang yang sama. Bahkan di depan hukum masih terjadi perlakukan yang berbeda.

Semangat :’Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia,’’ harus membangkitkan ikatan yang nyata sebagai warga dalam kesetaraan.

Bahasa Indonesia

Penggunaan Bahasa Indonesia menjadi kekuatan penyatuan yang fenomenal dan penting dalam  komunikasi di antara warga bangsa yang beragam ini. Di tengah banyak bahasa yang makin kehilangan penuturnya, bahasa Indonesia justru menunjukkan pertumbuhan.

Namun demikian, kita menyaksikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat ada indikasi yang  kurang baik. Kebanggaan menggunakan bahasa nasional merosot oleh kebanggaan berbahasa asing. Hal ini mendorong berbahasa secara campur-aduk, dan berkecenderungan mertendahkan Bahasa Indonesia.

Pengayaan kata-kata bahasa Indonesia juga cenderung ditempuh melalui jalur ‘’impor’’ dengan memasukkan bahasa asing. Kita kurang memanfaatkan bahasa daerah yang kaya dengan keunikan.

Keteguhan bahwa ‘’Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia,’’ harus dihidupkan untuk membangun bahasa Indonesia yang moderen dan menyatukan.

Peringatan Sumpah Pemuda haruslah menghidupan semangat ketiga ikrar itu. Upacara dan pidato-pidato jelas tak cukup tanpa terwujud dalam karya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home