Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 19:52 WIB | Kamis, 24 Desember 2020

Menteri Agama Akan Afirmasi Hak Beragama Warga Syiah dan Ahmadiyah

Menteri Agama, Yaqut C, Qoumas. (Foto: Humas Kemenag)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Menteri Agama, Yaqut C. Qoumas, mengatakan pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Yaqut tidak mau ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan. "Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata Yaqut saat dikonfirmasi Antara, di Jakarta, hari Kamis (24/12).

Gus Yaqut, sapaan Yaqut C. Qoumas, juga menyatakan bahwa Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan yang ada. "Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi," katanya.

Pernyataan itu merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas. Hal ini disampaikan secara daring pada forum “Professor Talk” Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, pada hari Selasa (15/12).

"Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi," kata Azyumardi.

Kurang untuk Kelompok Minoritas

Menurut Azyumardi, afirmasi itu kurang tampak diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas. Misalnya, saat pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah.

Azyumardi mengatakan bahwa para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram mengalami persekusi oleh kelompok Islam 'berjubah'.

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia. "Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja. Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun," kata Azyumardi.

Ia berpendapat bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.

"Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur, ya (oleh Pemerintah). Bagaimana supaya adil," katanya.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9, dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

Azyumardi mengatakan bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga ikut andil menyebabkan permasalahan tersebut. "Itu saya kira perlu ditata ulang ini. Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu, saya kira, dilakukan afirmasi dari tingkat nasional," kata Azyumardi. (Antara)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home