Mentransformasi Kerukunan
SATUHARAPAN.COM - Rasanya hampir tiap hari kita mendengar berita mengenai tawuran. Apalagi di sekitar Jakarta, fenomena tawuran seperti menjadi berita harian yang tiada habisnya. Bahkan dalam suasana Ramadhan beberapa waktu lalu, tawuran yang seharusnya mereda dan hilang, malahan muncul tumbuh seperti merebaknya jamur di musim hujan. Mengapa hal ini terjadi? Secara sosiologis hal ini menunjukkan bahwa kohesi sosial masyarakat kita masih sangat rendah. Gesekan karena penyebab sepele, bisa meledak menjadi adu jotos bahkan aksi saling serang membabi buta. Nalar seperti tumpul dan mandeg. Dan hati nurani seperti meredup, layu dan mati. Kadang hanya dipicu aksi saling mengejek di sosial media, akhirnya memuncak jadi akumulasi konflik dan tawuran.
Mungkin kita menduga bahwa tawuran hanya terjadi di daerah urban dengan kepadatan penduduk tinggi, seperti di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Akan tetapi ternyata tawuran ini juga terjadi di daerah-daerah rural juga. Entahkan ini karena perilaku latah atau ikut-ikutan atau karena pengaruh media yang menyiarkan berita sehingga memicu duplikasi dan replikasi kejadian di tempat lain. Apapun alasannya, rasanya mendesak untuk melakukan transformasi komunitas masyarakat Indonesia untuk membangun kehidupan yang rukun dan damai di segala level usia.
Memahami Konflik
Tingginya angka tawuran mengindikasikan bahwa masyarakat belum memahami konflik, terutama anak-anak remaja. Konflik merupakan ketidaksepakatan atau perselisihan antara dua pihak atau lebih merasakan adanya ancaman terhadap kebutuhannya. Sejatinya konflik dapat dilihat dari berbagai aspek. Konflik dapat dilihat dari perspektif aktornya, yaitu siapa yang terlibat dalam konflik. Selain itu konflik bisa juga dilihat dari aspek motivasinya, yaitu motivasi apa yang mendorong dan melatar belakangi hingga terjadi konflik tersebut. Konflik juga perlu dilihat dari durasinya, berapa lama konflik terjadi. Yang patut diamati juga dalam penggunaan kekerasan. Apakah konflik tersebut menggunakan kekerasan atau tidak? Hingga wujud konflik dan dampak konflik bagi yang berkonflik dan bagi masyarakat.
Konflik intrapersonal melibatkan antar individu yang eskalasinya dapat diminimalisir melalui upaya untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik. Akan menjadi lebih komplikasi ketika konflik melibatkan antar kelompok, antar kampung, antar desa, antar suku, bahkan hingga melibatkan antar negara. Sebagai contoh konflik antar Ukraina dan Rusia hingga kini belum usai, ditambah konflik antara Israel dan Kelompok Palestina Hamas, plus Iran yang baru-baru terjadi. Konflik yang menggunakan kekerasan dan senjata, pada akhirnya akan menambah derita nestapa manusia, terutama anak-anak dan kaum perempuan.
Mentransformasi Kerukunan dan Damai
Setiap kita dipanggil untuk menjadi pencipta kerukunan dan pembawa damai. Pengetahuan dan keterampilan mentransformasi kerukunan dan damai dapat diawali dari pemahaman mengenai memetakan sikap (pikiran, perasaan, niat), wujud perilaku yang nampak melalui ucapan ataupun tindakan serta pertentangan melalui perebutan kuasa, harta benda dalam ketidakadilan dan ketidaksepakatan. Pemetaan ini guna mengambarkan identitas kita sebagai pembawa damai untuk memediasi pihak-pihak yang berkonflik. Sambil menolong pihak-pihak yang berkonflik untuk menemukan kesadaran baru bahwa perbedaan bukan alasan untuk mempertentangkan karena ada panggilan ilahi sebagai mahkluk sosial untuk hidup rukun, damai dan saling berbagi.
Selanjutnya memperjelas persepsi dan fakta yang kadang bias dan kerap kali menjadi pemicu dan pemantik konflik. Kecerdasan logika dan kecerdasan emosi untuk membedakan antara persepsi dan fakta dapat memperjelas masalah apa yang sejating dijadikan sumber konflik. Perlu dikembangkan juga sikap dan sifat belas kasih, kepeduliaan dan empati kepada sesama manusia bukan sebagai musuh yang harus dibinasakan, melainkan sebagai sesama manusia yang perlu dikasihi dan dicintai. Membangun relasi yang semakin kohesif dan padu menyatu dapat diimplementasikan melalui pendekatan budaya, gotong royong, aksi bersama membangun program kohesi sosial yang bisa menjadi penguat kerukunan dan kohesi sosial di tengah masyarakat. Apapun keadaanya, kehidupan yang rukun dan damai adalah jauh lebih indah daripada saling bertikai satu dengan yang lain. Inilah salah satu estetika dan etika kehidupan yang harus dijunjung tinggi oleh siapa saja. Semoga.
Seekor Tapir Dievakuasi dari Kolam Benih Ikan
SIMPANG EMPAT, SATUHARAPAN.COM - Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Resor ...