Loading...
ANALISIS
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 21:02 WIB | Senin, 15 April 2019

Nguwongke, Memanusiakan Manusia dalam Hubungan Bermartabat

Lesbumi DI Yogyakarta gelar pameran seni Kembulan 2
Potongan karya berjudul “Dewan Percakilan Rakyat” (I Gusti Nengah Nurata) dalam pameran Kembulan 2: “Nguwongke” di Galeri Kaliopak berlangsung 10 April-10 Mei 2019. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka iapun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.

Kalimat penutup tersebut ditulis mendiang Presiden ke-6 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (yang akrab disapa Gus Dur) dalam sebuah artikel berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela” dan diterbitkan majalah Tempo edisi 28 Juni 1982. Tulisan tersebut menuai kritik, kontroversi, maupun perdebatan di kalangan umat beragama di Indonesia baik yang pro maupun kontra atas tulisan tersebut.

Gus Dur dalam gagasan humanismenya mencoba mengajak semua pihak untuk melihat dan menyikapi realitas yang terjadi dalam sudut pandang manusia-kemanusiaan dan tidak semata-mata dalam sudut pandang ideologis-teologis, sehingga doktrin keagamaan mampu menciptakan solusi bagi problematika kemanusiaan yang terjadi sepanjang peradaban manusia, dan bukan sebaliknya menjadi bagian dari problem-konflik itu sendiri.

Tulisan "Tuhan Tidak Perlu Dibela" kembali menemukan relevansinya, ketika realitas hari ini dimana relasi antarmanusia di Indonesia dalam dua tahun terakhir hanya dihiasi dengan hiruk-pikuk pertengkaran akibat perebutan politik kekuasaan di tingkat lokal-nasional, menuju sebuah relasi dalam titik terendah hubungan manusia: saling curiga, menebarkan ujaran kebencian dan kebencian itu sendiri, bertebaran fitnah dan kabar bohong (hoax), hilangnya penghormatan atas sesama manusia, terlebih ketika agama beserta isu-isunya dimanipulasi sebagai kendaraan yang efektif bagi petualang politik berburu rente kekuasaan.

Nguwongke, Ikhtiar Meretas Ruang Kebersamaan dalam Realitas Sekat-sekat Sosial

Berangkat dari realitas tersebut, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) DI Yogyakarta menggelar pameran seni rupa “Kembulan 2” mengangkat tajuk Nguwongke di Galeri Kaliopak, Kompleks Pesantren Kaliopak Jalan Wonosari Km 11 Dusun Klenggotan Desa Srimulyo, Piyungan-Bantul hingga 10 Mei 2019.

Kurator pameran A Anzieb menjelaskan tema tersebut dipilih sebagai upaya mendalamkan makna kemanusiaan, karena puncak dari kesenian itu sendiri adalah kemanusiaan. Dan kesenian menjadi jalan ikhtiar yang harus diretas setiap saat untuk memanusiakan manusia (nguwongke), memuliakan manusia dan alam semesta raya (dirawat dan tidak dilukai) tidak hanya raganya, tapi juga jiwanya – adalah niscaya agar tidak menjauh dari konsep kesenian yang mengajarkan tentang cara hidup, mengajarkan cara manusia yang memanusiakan manusia, welas asih, adab, budi pekerti.

Memanusiakan manusia adalah jalan sunyi yang tidak perlu berisik, diam, kembali pada hakikat manusia yang paling mulia. Apakah dengan bersuara nyaring suka menyebar kebencian, budaya saling membenci, saling mencaci atau budaya merasa paling benar sendiri, budaya memproduksi dan berjibaku dengan berita bohong, kesibukan memelihara pikiran negatif di atas muka bumi ini dan seterusnya, dapat disebut memuliakan manusia? Adalah tanda-tanda manusia yang semakin menjauh, bahkan mulai melupakan pada esensinya manusia sebagai manusia – bersedia menimbun kebencian maupun menyakiti sesama manusia, tapi menolak merasakannya sendiri.

“Tidak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali hanya berlaku jujur, terus-menerus memproduksi kebaikan, serta merta untuk kebaikan, pengetahuan dan hanya untuk memanusiakan manusia,” jelas Anzieb kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran, Sabtu (10/4) malam.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama, Purwo Santoso, yang hadir dalam pembukaan pameran Kembulan 2 mengingatkan pentingnya olah rasa melalui forum kebersamaan Kembulan yang dalam penyelenggaran kedua kalinya mengangkat tajuk Nguwongke.

Nguwongke hari-hari ini sangat penting karena yang ada tinggal kampret dan kawannya (untuk saling menyebut ejekan satu pihak ke pihak lain). Ketika hiruk-pikuk menjelang pemilu, kita semua sibuk saling mengejek melupakan kemanusiaan itu sendiri. Di sini seniman (secara cerdas) mengkomunikasikan kegelisahannya dengan nguwongke sebagai nasihat untuk kita. Mengasah rasa keindahan adalah urusan yang penting dalam Islam, karena Islam sendiri itu indah. Keberadaan (galeri) ruang seni yang digagas dan berada di tengah-tengah masyarakat sebagai penegas pentingnya kebersamaan untuk saling nguwongke,” kata Purwo Santoso menyoroti fenomena hilangnya sisi-sisi kemanusian akhir-akhir ini.

Setiap manusia tidak boleh memaksakan kehendak atas keyakinan kepada pihak lain. Kondisi ini didasarkan pada realitas bahwa agama adalah jalan untuk menuju kebenaran, rahmat, serta ridho Tuhan. Dalam Islam manusia disebut dengan dua terminologi, abdu dan khalifah.

Abdu merujuk pada kedudukan manusia sebagai hamba yang harus menyembah semata-mata kepada Allah. Sementara khalifah menunjukkan eksistensi manusia sebagai perwakilan Tuhan di dunia yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang terjadi, seperti ketidakadilan, perebutan sumber daya alam, kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan, hingga perdagangan manusia (human trafficking) dan banyak problem lainnya. Sebagai khalifah manusia juga dituntut untuk selalu berusaha menciptakan harmoni dalam kehidupan, mengelola segala potensi dan sumberdaya kehidupan untuk mewujudkan kebaikan (kemaslahatan) bersama.

Dua terminologi tersebut menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan dalam tugas-tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan kebaikan (kemaslahatan) bersama. Dalam berbagai kondisi, idealnya diperlukan relasi antarmanusia yang seimbang, sederajat-setara, dan saling memberikan  penghormatan satu sama lain, apapun latar belakang yang dimilikinya.

Di titik ini dibutuhkan sikap saling menghargai dan penghormatan atas pendirian terhadap keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang, serta senantiasa membuka diri untuk membangun sebuah interaksi sosial yang sehat, transformatif, dan bermartabat.

Nguwongke, Ancaman Krisis Kemanusiaan, dan Jalan Panjang Membangun Peradaban

Menurunnya bahkan hilangnya penghormatan manusia pada manusia lain menjadi salah satu penanda terjadinya krisis kemanusiaan pada sebuah masyarakat-bangsa. Kontestasi demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini sebagai upaya perebutan kekuasaan di berbagai ranah kehidupan seolah memerangkap masyarakat Indonesia dalam ancaaman krisis multidimensi yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa.

Dalam perbincangan dengan satuharapan.com Jumat (12/4) sore, sosiolog Universitas Widya Mataram Yogyakarta Puji Qomariyah menjelaskan bahwa krisis kemanusiaan terjadi sepanjang peradaban manusia. Perebutan kekuasaan, perebutan sumber daya alam, praktik hegemoni, runtutan dan rentetan peristiwa ancaman kritis terhadap kesehatan, keamanan, kemiskinan, ketidakadilan, keberadaan atau eksistensi individu/suatu komunitas atau suatu kelompok besar dalam wilayah luas, mendorong terjadinya krisis kemanusiaan.

“Krisis kemanusiaan bisa dipicu dari konflik bersenjata, perebutan politik-kekuasaan, perebutan sumber daya alam, epidemi, bencana alam, dan kedaruratan lainnya. Kisah pembunuhan pertama kali di dunia Habil oleh saudaranya Qabil yang menjadi kejahatan kemanusiaan pertama anak manusia menjadi catatan bagaimana penghormatan terhadap manusia-kemanusiaan bisa menjadi ancaman terhadap kehidupan itu sendiri. Hari-hari ini potensi ancaman tersebut sangat banyak dan beragam. Praktik demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini pun rentan terhadap terjadinya krisis kemanusiaan manakala para elite hanya berpikir berebut kekuasaan dan sumberdayanya.” Puji menjelaskan.

Puji menambahkan krisis kemanusiaan semakin kerap terjadi pasca revolusi industri. Revolusi industri yang memacu perkembangan pabrik sangat berpengaruh terhadap perubahan kebutuhan tenaga kerja. Semakin tunggi tuntutan produktivitas semakin tinggi pula kebutuhan tenaga kerja. Tidak hanya laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan, perempuan juga harus terlibat dalam sektor publik. Perubahan tersebut mendorong lahirnya kelas sosial dalam masyarakat, juga tingginya mobilitas masyarakat melakukan urbanisasi, yang akhirnya memicu munculnya slum society. Tingginya tuntutan produktivitas dibarengi dengan tingginya permintaan terhadap bahan baku industri mendorong pula perebutan penguasaan sumber daya alam di berbagai belahan dunia.

“Terjadi pergeseran fungsi keluarga. Keterlibatan perempuan berpengaruh besar terhadap berjalannya fungsi keluarga seperti munculnya kebiasaan pendelegasian fungsi sosialisasi yang seharusnya dilakukan oleh orangtua terutama ibu beralih ke asisten rumah tangga (pembantu rumah tangga). Yang menjadi ironi ketika pendelegasian terjadi pada fungsi afeksi. Pasca revolusi industri tingkat perceraian sangat tinggi. Berawal dari sana pergeseran nilai-nilai sosial bahkan lebih spesifik nilai-nilai kemanusian, bermula,” tambah Puji menjelaskan rentetan fenomena sosial yang terjadi.

Dengan kemajuan teknologi saat ini hubungan antarwilayah, antarnegara tidak terkendala jarak-waktu sehingga hubungan antarmanusia bahkan dari belahan dunia yang berbeda dengan cepat-mudah dapat dilakukan. Globalisasi membuat negara-negara saling berebut pengaruh dan menyebarkan pengaruhnya ke negara lain. Pengaruh positif maupun negatif menyerbu masyarakat. Selain perubahan sosial di atas, terjadi pula perubahan budaya, yaitu semakin majunya perkembangan teknologi dan lahirnya budaya konsumerisme.

Tingkat ketergantungan masyarakat semakin tinggi terhadap teknologi telah mengubah pola interaksi dan pola pikir secara drastis. Dengan teknologi, tenaga dan pikiran sangat minim untuk dieksplorasi. Seolah masyarakat sekarang tidak lagi memerlukan interaksi dengan pihak lain secara primer (secara langsung), dengan bantuan teknologi semua kebutuhan terpenuhi.

“Sekarang hampir tidak bisa dijumpai percakapan antarpenumpang menunggu pemberangkatan (kereta api, pesawat) mereka sibuk dengan dirinya sendiri dengan gawai masing-masing. Budaya menyapa beramah tamah semakin hilang. Peradaban manusia dibangun dari perbincangan yang setara, bermartabat, dan dalam berbagai arah. Bahkan dalam tingkatan yang paling sederhana,” imbuh Puji.

Puji menjelaskan meskipun belum ada penelitian secara metodologis, realitas semakin meningkatnya penyakit degeneratif di Indonesia bisa jadi andil perkembangan alat komunikasi yang semakin canggih, bagaimana masyarakat tanpa bergerak sedikitpun, semua bisa terpenuhi bekerja dalam layanan secara daring (online).

“Di satu sisi, komunikasi adalah salah satu unsur penting didalam kehidupan, arus informasi berdampak besar pada kehidupan kita. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya, terutama budaya intangible, nilai-nilai budaya semakin mengalami pergeseran. Budaya ramah-tamah, senyum, sapa, saling menolong, guyub, gotong-royong, menggunakan bahasa yang baik dan sopan tergantikan oleh budaya global. Nilai-nilai budaya yang telah berkembang secara organik mengalami perubahan secara mekanistis. Teknologi pada dasarnya usaha untuk mengubah dunia, memudahkan dan  untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk menggeser manusia,” papar Puji.

Hari ini media sosial merupakan kontributor utama akulturasi budaya global. Sehingga segala macam informasi dan budaya dari belahan dunia mana pun bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Di sinilah menurut Puji, budaya literasi menjadi penting untuk menyaring segala macam informasi dan berita. Literasi memiliki makna yang lebih luas yang mencakup pemahaman yang baik terhadap berbagai aspek kehidupan. Bertebarannya berita bohong (hoax) di media sosial akhir-akhir ini semakin meneguhkan akan pentingnya literasi teknologi informasi dan komunikasi, khususnya literasi media.

Rendahnya tingkat literasi media bisa ditengarai dengan rentannya ikatan kebinekaan, munculnya prasangka ideologis, dan isu primordialisme, sehingga membentuk persepsi yang membunuh kebenaran dan rasionalitas, dan semakin hilangnya penghargaan terhadap martabat kemanusian.

“Rendahnya tingkat literasi berkorelasi dengan kemampuan manusia dalam memanusiakan manusia. Kebencian, fitnah, caci-maki, perundungan terhadap seseorang menjadi hal biasa. Artinya ada rasa kemanusiaan dari diri manusia yang hilang, rasa menghargai, penghormatan terhadap martabat manusia menjadi bergeser menjadi caci-maki. Sistem pendidikan mempunyai andil terhadap pembentukan karakter manusia, pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang mampu memanusiakan manusia, manusia yang memiliki akhlakul karimah, tidak sekadar memintarkan manusia,” kata Puji mengakhiri perbincangan singkatnya dengan satuharapan.com.

Akhir-akhir ini hampir setiap hari di media sosial dengan mudah ditemui bertebarannya ujaran kebencian, provokasi, fitnah, berita bohong (hoax), realitas praktik ketidakadilan, realitas kemiskinan, belum meratanya akses pendidikan-kesehatan, seolah meminggirkan bangsa Indonesia yang beradab. Sila kedua Pancasila menyebutkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bagaimana implementasi sila kedua tersebut di masyarakat dalam hubungan berbangsa-bernegara?

Dengan dianugerahi otak/akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan, manusia dianggap menjadi ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dalam sila kedua Pancasila memiliki makna kesadaran sikap dan perbuatan didasarkan pada potensi budi pekerti-nurani manusia dalam kaitan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya. Manusia yang memiliki sikap berkemanusiaan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang ras, agama, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal. Sila kedua Pancasila bukanlah semata-mata formalitas landasan bangsa Indonesia, namun juga seharusnya diterapkan langsung dalam kehidupan bermasyarakat.

Manusia dan kemanusiaan tidak datang dengan tiba-tiba. Ia harus dibangun dalam kesadaran bersama atas nilai-niai kehidupan itu sendiri. Nguwongke atau memanusiakan manusia mensyaratkan kehadiran manusia di antara manusia lain dalam relasi yang seimbang, setara, dan saling menghormati. Pintu masuknya adalah menjadi manusia dengan akal-rasa-nurani secara bersamaan. Karena nguwongke itu sendiri adalah laku panjang perjalanan peradaban manusia.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home