Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 12:05 WIB | Senin, 16 September 2019

Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”

Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Pembukaan pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia” di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Sabtu (14/9) malam. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
12 karya grafis Mochtar Apin dalam “Pantjangan Pertama” yang diterbikan tahun 1951.
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Maestro Cukil Reduksi (gambar paling kiri) – 1/1 - hardboard cut di atas kertas – 120 cm x 100 cm – Bonaventura Gunawan – 2019.
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Bijak (2/5) - 59 cm x 69 cm - relief print di atas kertas - Lulus 'Boli' Setio - 2019.
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Mencukil & Mencetak Budaya (paling kanan) – MDF cut/stensil/hardboard cut di atas kanvas – 70 cm x 90 cm – Irwanto Lentho – 2019.
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Karya panel relief print reduksi di atas kertas handmade - Agung Prabowo.
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Makna Nirmakna – lino cut di atas kain kassa – 30 cm x 30 cm (9 panel) – Theresia Agustina Sitompul – 2018.
Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia”
Buaya di Tepi Danau (3/5, kiri) dan Permainan Penghuni Hutan (3/3, tengah) – relief print reduksi di atas kertas bolak-balik – 40 cm x 48 cm – Agung Pekik Hanafi – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mengawali Pekan Seni Grafis Jogja (PSGJ) 2019 sebanyak 70-an karya grafis dengan teknik cetak tinggi (relief print) dipamerkan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pameran dibuka pada Sabtu (14/9) malam.

Pemilihan karya dengan teknik cetak tinggi menyesuaikan fokus tema PSGJ 2019 yang fokus mengangkat teknik cetak tinggi merupakan bagian dari edukasi serta pengenalan ulang teknik tersebut sekaligus membingkai dalam narasi karya grafis yang digunakan semasa perjuangan bangsa Indonesia di tahun-tahun awal kemerdekaan.

Seni grafis Indonesia mulai berkembang pasca Indonesia merdeka meskipun seniman semisal Baharoedin Marasutan, Mochtar Apin, Widayat, Suromo, sudah membuat karya yang dipublikasi di banyak medium sebelum Indonesia merdeka, sementara teknologi pencetakan saat itu masih menggunakan mesin handpress. Membuat ilustrasi cerita wayang (kulit) dalam cetakan berwarna pada sebuah buku/majalah pada masa itu adalah sebuah kemewahan mengingat pertimbangan biaya serta teknologi pencetakan berwarna secara massal sangatlah jarang. Bahkan majalah terbitan Belanda De Orient saat itu masih dicetak hitam putih.

Setahun setelah Indonesia merdeka, beberapa seniman grafis di antaranya Mochtar Apin, Baharoedin Marasutan, dan kawan-kawan membuat karya grafis yang digunakan sebagai kenang-kenangan oleh negara kepada negara sahabat yang turut mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1945. Saat itu dibuat 36 set booklet  Linoleographs yang berisi 10 karya Mochtar Apin dan 9 karya Baharudin Marasutan. Ke-36 set booklet tersebut dihadiahkan kepada negara sahabat sekaligus sebagai kelanjutan diplomasi saat itu.

Dalam bingkai tema “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia” dipamerkan bendelan karya grafis Mochtar Apin berjudul “Pantjangan Pertama”. Sebanyak 12 karya grafis Mochtar Apin tersebut masing-masing berukuran 8 cm x 10 cm dibuat dengan menggunakan teknik cetak linocut yang diterbitkan tahun 1951 oleh penerbit Pustaka Rakyat – Jakarta.

Ketujuh puluh karya grafis yang dipamerkan menggunakan medium, eksplorasi teknik cetak tinggi, serta tahun pembuatan yang beragam. Karya Edy Sutopo berjudul “Pesan Terakhir” yang dibuat tahun 1988 dibuat dengan menggunakan hardboard cut  di atas kertas. Pengajar jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta Edi Sunaryo dalam teknik cukil kayu (wood cut) di atas kertas mempresentasikan karya berjudul “Mask”.

Dari teknik dasar yang sama seniman grafis sering melakukan improvisasi teknik cetaknya yang menjadi ciri khasnya. Agung ‘Pekik’ Hanafi terus melakukan eksplorasi teknik reduksi (relief print wood-hardboard cut with reduction) dalam karya-karyanya. Konsisten dengan eksplorasi teknik tersebut karya grafis Agung Pekik mudah dikenali dari penggunaan warna yang berjumlah puluhan bahkan ratusan. Dalam karya terbarunyanya berjudul “Buaya di Tepi Danau” dan “Permainan Penghuni Hutan” Agung Pekik membuat karya grafis secara bolak-balik (relief print – face of face).

Jika diamati sekilas seolah cat warna karya tersebut tembus ke sisi sebelah kertas. Untuk memberikan gambaran yang jelas bahwa karya tersebut visualnya merupakan kebalikan dari sisi sebelahnya, karya grafis Agung Pekik didisplay secara berbeda dengan karya lainnya. Tidak seperti karya lainnya yang dipajang sejajar-menempel dinding, karya berjudul “Buaya di Tepi Danau” dan “Permainan Penghuni Hutan” dipajang tegak lurus dengan dinding. Selain register karya, Agung Pekik menambahkan pemakaain cat warna di bawah karyanya.

“Dua sisi kertas tersebut dicetak terpisah dalam satu kertas. Masih menggunakan teknik reduksi dengan penggunaan sekitar tujuh puluhan warna berbeda,” jelas Agung Pekik kepada satuharapan.com.

Pameran, Upaya Edukasi dan Mendekatkan Karya Seni Grafis kepada Pengunjung

Eksplorasi teknik reduksi lainnya dilakukan Muhammad ‘Ucup’ Yusuf dalam karya berjudul “Life is Walking Around” menggunakan teknik woodblock print di atas kertas. Dalam medium kain kassa Theresia Agustina Sitompul membuat karya berjudul “Makna Nirmakna” menggunakan teknik linocut. Dengan menggunakan teknik cetak letterpress, McMurs x Sapiptenkai membuat karya grafis berjudul “Eternity” di atas kertas merang.

Beberapa seniman grafis menggunakan material selain kertas sebagai medium karya. Danang Catur dalam karya berjudul “Man” dan Teguh Hariyanta dalam karya berjudul “So You Think You are Famous” sementara pada tiga karyanya Syahrizal Pahlevi mencetaknya di atas kain (fabric). Dalam karya berjudul “Present”, Dadlan Afrelno membuat master print menggunakan bahan akrilik (acrylic cut).

Irwanto Lentho dalam karya berjudul “Mencukil dan Mencetak Budaya” memberikan tawaran menarik ketika mempresentasikan karya tersebut dalam narasi proses karya. Lentho menjadikan master print berbahan MDF (medium density fibre) sebagai karya akhirnya. Sebelum menjadi karya akhir, Lentho mencetak master print  tersebut di atas kertas. Baik master print maupun karya grafis di atas kertas, Lentho mempresentasikan keduanya menyatu.

Dalam diisplay karya tersebut Irwanto Lentho mencoba memberikan gambaran kepada pengunjung bagaimana sebuah karya grafis dihasilkan. Bagi seniman grafis, display tersebut cukup jelas memberikan gambaran proses. Namun bagi khalayak yang awam terhadap teknis seni grafis, sebagai bagian dari edukasi kepada masyarakat ada baiknya diberikan sedikit narasi bagaimana proses sebuah karya grafis tercipta hingga tersaji dalam sebuah karya. Bahkan dalam bendelan “Pantjangan Pertama” selain karya grafis Mochtar Apin membuat tutorial proses pembuatan karya grafis tersebut.

Diantara teknik cetak grafis, cukil kayu (woodcut) merupakan teknik paling kuno sebelum ditemukan mesin cetak seni grafis. Diperkirakan telah ada sejak abad kelima, meskipun baru dikembangkan di Eropa sekitar abad ke-14. Teknik cukil kayu masuk dalam teknik cetak tinggi, dimana permukaan yang lebih tinggi akan terkena tinta warna dan dipindahkan ke dalam media cetak. Penggunaan cetak tinggi dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah stempel/cap baik yang berbantalan maupun yang tidak berbantalan.

Cetak tinggi adalah proses mencetak dalam seni grafis dengan memanfaatkan bentuk yang paling tinggi yang berasal dari plat klise untuk menghasilkan bentuk karya gambar. Plat klise tersebut bisa berupa bahan-bahan lunak dan keras semisal kayu/potongan kayu ataupun logam. Karena menggunakan acuan panel ukiran/pahatan atau panel relief yang lebih tinggi, teknik cetak ini biasa disebut cetak relief atau flexography.

Dari banyak teknik cetak tinggi, cukil kayu (woodcut) menjadi pilihan banyak seniman grafis dengan mempertimbangkan mudahnya mencari alat dan bahan, teknik pembuatannya yang relatif sederhana, namun tetap menghasilkan karya seni grafis yang impresif. Detail desain menjadi kekuatan sebuah karya seni cukil kayu.

Pilihan teknik lain dalam cetak tinggi adalah cukil kayu Ukiyo-e. Cetak relief dengan reduksi cukil kayu Ukiyo-e atau dikenal juga dengan nama Moku Hanga berkembang pertama kali di Jepang sebelum ditemukan teknologi cetak saring (silk screen). Dengan memanfaatkan tekstur kayu, karakter media kertas cetak, desain, bahan pewarna, serta alat, hasil cetak dari ukiyo-e mirip dengan cetak saring.

Bahkan dengan teknik tertentu dalam pewarnaan bisa dihasilkan gradasi warna pada hasil cetaknya. Jika pada teknik cetak tinggi kebanyakan menggunakan cat/pewarna berbasis minyak, tinta warna yang digunakan dalam Ukiyo-e berbasis air (water based), lem kertas untuk tambahan pewarna. Dengan sifat cat pewarnanya tidak sepertik teknik cetak tinggi lainnya yang bisa dicetak pada berbagai medium, Ukiyo e hanya bisa dicetak di atas medium berbasis kertas.

Sebagai upaya edukasi kepada masyarakat selama PGSJ 2019 ditawarkan program workshop “Teknik Cetak Grafis” meliputi: Mokuhanga (15-19 September), Linocut (15-19 September), Relief print untuk Anak (22-26 September), Relief Wax (22-26 September), Kitchen Lito (21-25 September).

Pameran Seni Grafis “Relief Print, Karakter dan Sejarahnya di Indonesia” di Museum Sonobudoyo Jalan Pangurakan No. 6 Ngupasan, Yogyakarta, 14-27 September 2019.

Informasi seputar kegiatan Pekan Seni Grafis Jogja 2019 bisa menghubungi panitia di Studio Grafis Minggiran Jalan Gedongkiwo MJ II/1006 Yogyakarta melalui kontak PSGJ 2019 (081328697170), sekretariat panitia di Museum Sonobudoyo Jalan Pangurakan - Yogyakarta, narahubung Adinda Ayu (08122940276), atau melalui kanal media sosial instagram @pekansenigrafisyog.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home