Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 08:16 WIB | Rabu, 22 Agustus 2018

Reuni Keluarga Korea Terpisah, Kesempatan yang Terlambat Datang

Ilustrasi. Dua warga Korea, Utara dan Selatan, yang hidup terpisah akibat Perang Korea 1950-1953, mendapat kesempatan reuni. Tahun ini, keluarga yang terpisah mendapat kesempatan reuni tiga hari, dalam dua putaran yang berlangsung 20 - 26 Agustus ini di sebuah resor di Gunung Kumgang, Korea Utara. (Foto: Nepal24Hours)

Sebanyak 89 warga usia lanjut Korea Selatan mendapatkan kesempatan bereuni dengan keluarga di Korea Utara, demikian juga 83 warga usia lanjut Korea Utara mendapatkan kesempatan kesempatan yang sama, bertemu dengan saudara mereka dari Korea Selatan. Mereka hidup terpisah sejak berkecamuknya Perang Korea 1950-1953. Koh Byung-joon dari Kantor Berita Yonhap menuliskan kisah yang menyentuh.

SEOUL, SATUHARAPAN.COM – Kenangan Chung Hak-soon selalu sama. Serasa baru kemarin ia mengenang kebersamaannya bersama saudara laki-lakinya, sebelum Perang Korea 1950-1953 memisahkan mereka.

Sejak itu, menjadi impian seumur hidup bagi wanita yang kini berusia 81 tahun itu untuk dapat bertemu kembali dengan saudara laki-lakinya yang “tertinggal” di Korea Utara. Tetapi, sudah terlambat. Saudara yang ia kasihi itu sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Namun, dalam kesedihan, masih ada penghiburan baginya. Ia masih bisa bertemu keluarga almarhum saudaranya itu, untuk pertama kalinya, dalam acara reuni keluarga yang diadakan minggu ini.

“Ingin sekali melihat wajahnya, tetapi sudah terlambat,” kata Chung, kecewa.

Chung adalah salah satu dari 89 warga Korea Selatan yang terpilih untuk ambil bagian dalam acara reuni keluarga yang diadakan dari Senin hingga Minggu depan di sebuah resor Gunung Kumgang di pantai timur Korea Utara.

Reuni ini sungguh kesempatan langka bagi mereka, yang telah berusaha nyaris sia-sia selama beberapa dekade, untuk dapat melihat keluarga mereka di Utara.

Acara minggu ini adalah yang pertama diselenggarakan sejak Oktober 2015. Kedua Korea hanya mengadakan 20 putaran reuni keluarga tatap muka sejak pertemuan puncak antar-Korea pertama pada tahun 2000.

Sebanyak 89 orang yang beruntung terpilih untuk bergabung dalam acara minggu ini, hanya sebagian kecil mewakili sekitar 57.000 orang, yang harus menunggu untuk bertemu lagi dengan orang-orang yang mereka cintai di Utara.

Masalahnya, banyak dari mereka berusia 70-an tahun atau lebih. Itu berarti kesempatan untuk mewujudkan mimpi bertemu lagi dengan orang tua, saudara, sebelum mati, sangatlah kecil.

Melihat Secercah Harapan Bertemu Sanak Keluarga

Pada bulan-bulan menjelang berlangsungnya acara minggu ini, banyak yang harus menyerah, menelan kenyataan, hanya mampu berharap cukup puas melihat kerabat yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Park Hong-seo adalah salah satunya.

Pria berusia 88 tahun itu ingin menemui kakaknya lagi ketika mengajukan permohonan mengikuti reuni keluarga. Ia kemudian diberitahu, kakaknya sudah meninggal dunia pada pertengahan 1970-an.

Saudara laki-laki itu, yang menjalankan sebuah rumah sakit di Wonsan, tidak dapat bergabung dengan anggota keluarga lain yang memutuskan pindah ke Selatan pada tahun 1946, untuk menghindari kekuasaan komunis di Utara. Perang Korea membuat apa yang mereka pikir sebagai berpisah sementara, ternyata bersifat selamanya.

Walau tidak terwujud keinginannya bertemu saudara laki-lakinya, Park terhibur karena dapat bertemu dengan putra almarhum saudaranya selama reuni minggu ini.

“Ketika kami pindah ke Selatan, kami baru saja mendengar kabar bahwa ia (keponakannya, Red) lahir. Ia sekarang berusia 72 tahun. Juga dikabarkan ada keponakan lagi, berusia 68 atau 69 tahun,” kata Park, “Ini menjadi kesempatan pertama melihat mereka.”

 Koh Ho-joon, pria berusia 77 tahun, melihat secercah harapan lagi untuk meluapkan kerinduan kepada kakaknya, yang ternyata telah lama meninggal. Ia akan bertemu dengan istri saudaranya. Kakaknya itu terpisah dengan seluruh saudara ketika Perang Korea berkecamuk.

“Ketika mengajukan permohonan untuk acara reuni ini, saya cemas, jangan-jangan ia terbunuh dalam perang. Tetapi, bersyukur saya mendengar kabar ia hidup sampai usia 44 tahun,” katanya, “Saya juga mendengar bahwa istrinya masih hidup dan berusia 82 tahun. Saya sangat berterima kasih kepadanya. Ia telah mengurus anak-anaknya, seorang diri.”

Koh mengenang penderitaan ibunya sampai tutup usia sekitar 15 tahun yang lalu, yang selalu memimpikan dapat bertemu kembali dengan putranya yang terpisah tinggal di Utara.

Kabar baik datang, seperti muncul dalam mimpinya, hanya beberapa hari sebelum akhirnya ia terpilih untuk mengikuti acara reuni keluarga, katanya.

Berharap Tidak Menjadi Kesempatan Terakhir

Setiap peserta memiliki cerita yang berbeda dan menyentuh tentang perpisahan dan bekas luka yang lama terpendam dalam kehidupan mereka di dekade-dekade berikut.

Mereka, bagaimanapun, mungkin memiliki satu kesamaan: reuni ini tidak boleh menjadi kesempatan terakhir, harus ada pertemuan tatap muka yang lebih sering dan periodik, ada pertukaran surat, dan kunjungan ke rumah masing-masing.

Cho Seong-yeon, yang dijadwalkan bertemu keluarga dari adik laki-laki dan perempuannya dalam reuni minggu ini, berbagi keprihatinan.

“Jika ini adalah kesempatan pertama dan terakhir untuk bertemu mereka, saya khawatir kita bisa menjadi keluarga yang terpisah lagi,” kata perempuan 85 tahun itu, “Bahkan tidak mungkin saling mengatakan kapan kita akan bertemu lagi.”

“Saya telah meminta Kementerian Unifikasi dan Palang Merah untuk memungkinkan kami saling bertukar surat dengan yang lain,” ia menambahkan.

Mereka telah menunggu reuni keluarga ini selama hampir tujuh dekade, tetapi kesempatan pertemuan yang hanya berlangsung relatif singkat tidak cukup untuk menghilangkan penantian panjang dan penderitaan mereka. (yonhap.co.kr)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home