Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 12:54 WIB | Kamis, 15 Desember 2016

Sejak Lama Lonceng Tidak Berdentang di Mosul

Ilustrasi.Seorang tentara Irak memberikan voucher untuk bantuan kemanusiaan pada pengungsi di Qayyara, selatan Mosul, Irak pada Selasa (25/10). (Foto: alahram.org/Reuters)

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Pemimpin Christian Aid Programme Northern Iraq (CAPNI) atau kelompok bantuan Kristen untuk Irak Utara, Pendeta Emanuel Youkhana, mengatakan untuk tiga kali berturut-turut, lonceng gereja tidak berdentang di Mosul, Irak Utara.

Saat memberikan materi di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), di Jenewa, Swiss, hari Senin (12/12) dan diberitakan kembali oikoumene.org, hari Rabu (14/12), dia menceritakan  pada bulan Juni 2014 jumlah penganut agama minoritas, seperti Kristen, di kota terbesar kedua di Irak mulai menghadapi serangan mengerikan oleh kelompok yang menamakan dirinya IS (Negara Islam).

Dia mengatakan Mosul pernah menjadi salah satu pusat utama umat Kristen di Irak, namun kini menjadi pusat pemusnahan etnis massal. "Sejak Oktober saat ini adalah bulan kedua pembebasan," kata Youkhana.

Dia menceritakan banyak warga yang mengalami ketakutan terhadap situasi yang akan terjadi, walau IS dikalahkan secara militer.

“Saat ini kami selalu bersukacita, karena tanah air yang kita huni ini tetap utuh, walau ribuan orang Kristen mengungsi dari cengkeraman ekstremis, kami sangat prihatin tentang apa yang ada di depan,” kata Youkhana.  

Youkhana, tidak sekadar berbicara di konferensi pers, tetapi dia juga menyampaikan makalah dalam sebuah makalah berjudul “The Protection Needs of Minorities from Syria and Iraq” yang dia sampaikan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC) dan Organisasi Gereja Norwegia Aid (NCA ), anggota dari ACT Alliance. Laporan tersebut didanai oleh Departemen Luar Negeri Norwegia.

“Kami cukup yakin suatu hari kita akan pulang ke kota dan desa kami masing-masing sehingga kita akan terus hidup dalam pengharapan ini,” kata Youkhana.

Banyak dari warga Irak yang menempati di bagian utara negara tersebut memeluk Kristen dan Yazidi. Kristen Asyur yang merupakan kelompok Kristen yang memiliki penduduk dengan jumlah cukup besar  berbicara bahasa mereka sendiri dan tidak selalu mengidentifikasi sebagai Arab, laporan menjelaskan. Akibatnya, mereka menganggap diri mereka, dan dianggap oleh orang lain, sebagai kelompok etnis yang berbeda.

Sementara itu suku Yazidi didominasi orang-orang berbahasa Kurdi, mereka menempati wilayah Irak yang berbatasan dengan wilayah Kurdistan. Sejak tahun 2003, banyak dari tanah air Yazidi dari pegunungan Sinjar telah di bawah kendali Pemerintah Daerah Kurdi, meskipun secara resmi masih di bawah yurisdiksi pemerintah pusat Irak.

Sementara banyak orang Yazidi yang merasa percaya diri mengatakan mereka sebagai bagian suku Kurdi, mereka melihat diri mereka sebagai kelompok etnis yang berbeda tetapi mereka menghadapi gejolak di bawah IS dan bahkan sebelum itu karena mereka dituduh sebagai pemuja setan.

Youkhana menegaskan para pemimpin Kristen di Irak memperkirakan bahwa, per November 2016, terdapat setidaknya  250.000 orang Kristen yang tersisa di negara itu.

Menurut perkiraan yang dipaparkan dalam laporan WCC-NCA, lebih kurang 70 persen umat Kristen di Irak telah meninggalkan negara itu sejak tahun 2003 dan sebagian besar dari mereka yang tetap mengungsi.

Youkhana menunjukkan foto-foto yang telah diambil dari kerusakan di daerah Kristen dan dia merasa sedih karena kelompok ekstremis tersebut mengotori dinding dengan banyak tulisan bernada kebencian sektarian.  

Dia mencatat ada pesan berbahasa Jerman di salah satu dinding di tempat tersebut yang ditulis oleh jihadis asal Jerman. “Kami merasa lega karena operasi militer telah mulai kami berharap tidak akan ada upaya mengubah demografi daerah tersebut,” kata Youkhana.

“Kami mungkin tidak dapat mengembalikan demografi Kristen seperti sedia kala, namun kami bisa mengembalikan nilai-nilai Kristen dan menambah nilai ke tempat ini,” kata dia.

Dia mencatat banyak penganut  agama dan orang-orang yang tergolong etnis minoritas di sekitar Mosul, seperti komunitas adat Irak, Yahudi, pengikut Yohanes Pembaptis, Yazidi, dan Kristen. "Kami bahkan diabaikan sebelum ISIS datang untuk mengusir kami dari tempat ini, saya tidak ingin ini terulang,” kata dia.

Dia mengatakan bahwa lebih dari 100 tahun, tiga generasi keluarganya menghadapi upaya genosida – pertama di bawah kekuasaan Ottoman, kemudian setelah pembentukan Irak pada tahun 1933, dan sekarang upaya terbaru oleh IS. (oikoumene.org)

Editor: Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home