Loading...
RELIGI
Penulis: Trisno S Sutanto 18:25 WIB | Jumat, 17 Januari 2014

Sidang MPL-PGI: Menghormati Simatupang

Pdt. Zakaria Ngelow sat memberikan ceramah tentang warisan pak Simatupang di MPL-PGI, Kamis (17/1). (Foto: Trisno S Sutanto)

MERAUKE, SATUHARAPAN.COM - Sejak alm. Letjen (Pur) T.B. Simatupang (1920-1990) diberi gelar pahlawan nasional di Jakarta, 8 November 2013, namanya kembali banyak dibicarakan di gereja-gereja. Tokoh yang akrab dipanggil “Pak Sim” itu, memang, merupakan figur yang banyak memberi inspirasi bagi gerakan oikoumenis di gereja-gereja, baik secara nasional maupun internasional.

Itu sebabnya, MPL-PGI di Merauke hari ini Kamis (17/01) memberi waktu khusus untuk mendikusikan warisan pemikiran pak Sim, terutama untuk gereja-gereja di Indonesia. Apalagi, dewasa ini, makin terasa kegalauan yang menghinggapi banyak orang, bahwa pasca-Mei 1998 terjadi kekosongan definisi, makna maupun pengamalan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarkat, maupun bernegara.

“Padahal Pancasila dan UUD 1945 merupakan concern utama pak Sim dan angkatannya,” ujar Pdt. Dr. Zakaria Ngelow, sejarawan sekaligus Direktur Yayasan OASE-Intim, yang menjadi narasumber diskusi tentang warisan pak Sim. “Semua proses selama masa reformasi makin membuat Pancasila seperti dongeng belaka dan mengarah pada krisis kebangsaan.”

Di dalam konteks kegalauan itulah pikiran pak Sim kembali bergema. Karakter pak Sim sebagai tentara yang menjunjung tinggi sumpah Sapta Marga, membuatnya sangat teguh dalam soal ideologi Pancasila. Baginya, Pancasila merupakan harga mati yang harus terus menerus dijaga dari berbagai upaya untuk menggantinya, entah dengan ideologi Islam maupun komunisme. Begitu juga, pak Sim merupakan tokoh yang selalu memikirkan pembangunan nasional yang dilihatnya sebagai “pengamalan Pancasila”.

“Konsep itu, yakni ‘pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila’ sering dijuluki sebagai sumbangan Kristen, dan sangat mempengaruhi perjalanan gereja-gereja di masa lalu,” ujar Zakaria. Namun, sampai sekarang, siapa orang yang membawa Pak Sim, setelah selesai karier militernya karena “kudeta setengah hati” tanggal 17 Oktober 1952 ke dalam lingkup gerakan gereja-gereja, masih tetap misteri.

Menurut Pdt. Richard Daulay, adalah alm. T.S. Gunung Mulia, salah satu Ketua Umum PGI yang mengajak pak Sim ke lingkungan PGI. “Ia bahkan datang dan membujuk pak Sim untuk terlibat,” ujar Daulay saat menanggapi Zakaria. “Dugaan saya adalah Gunung Mulia sedang mempersiapkan penggantinya.” 

Yang jelas, seperti diakui pak Sim sendiri, ia belajar dari tiga Karl: Carl von Clausewitz (ahli perang), Karl Marx (ahli revolusi), dan Karl Barth (teolog Protestan terbesar abad lalu). “Saya sendiri menambahkan Karl keempat, yakni Karl Paul Reinhold Niebuhr, teolog Amerika yang memperkenalkan Christian Realism. Dan sikap realisme itu merupakan pandangan dasar yang dipegang pak Sim seumur hidup,” kata Zakaria.

Mengutip Cooley, Zakaria menuturkan setidaknya ada empat concern utama pak Sim. Pertama, soal pembangunan sebagai kelanjutan dari revolusi kemerdekaan; kedua, Pancasila dan bukan agama yang harus menjadi dasar negara maupun dalam membangun masyarakat; ketiga, kebutuhan negara-negara Barat di dalam memahami peran dunia ketiga membina masa depan; dan, keempat, mempersiapkan generasi pemimpin di masa depan. Di dalam konteks itulah pak Sim memberi sumbangan pikiran yang penting bagi gereja-gereja di Indonesia.

“Kita dapat melihat warisan pak Sim dalam tiga hal. Pertama, dalam teologi sosial gereja-gereja untuk ikut berpartisipasi di tengah proses pembangunan nasional. Dan di sini, pak Sim tampak sebagai tokoh modernis,” ujar Zakaria. “Kedua, dalam gerakan oikoumene, yang mendorong gereja-gereja keluar dari ghetto kesukuan.”

Sumbangan ketiga sering disebut sebagai sikap realisme yang berpengharapan. Maksudnya, dengan realisme kita harus menerima secara obyektif realitas yang ada, namun sekaligus penuh harapan untuk memproyeksikan perkembangan di masa depan. Di situlah pak Sim merumuskan sikap gereja-gereja untuk selalu positif, kritis, kreatif dan realistis dalam melihat perkembangan masyarakat.

Sejak berakhirnya rezim Orde Baru, warisan pak Sim mengundang cukup banyak kritik. Misalnya dari Pdt. Dr. Julianus Mojau, yang melihat pemikiran pak Sim sebagai “pendukung setia Orde Baru” dengan warna “fobia terhadap Islam”. Sedang Pdt. Dr. Martin L. Sinaga melihat, peran sentral yang dimainkan pak Sim di masa lalu membuat gereja-gereja tidak mampu melihat secara kritis ketika rezim Orde Baru bangkrut.

“Saya dapat memahami kritik-kritik mereka, namun perlu dicatat bahwa pak Sim adalah anak zamannya,” ujar Zakaria. “Ia juga seorang tentara yang taat pada komando. Namun ia juga seorang yang visioner dan pikiran-pikirannya perlu didiskusikan oleh gereja-gereja sekarang.”


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home