Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 20:26 WIB | Kamis, 29 Desember 2022

Taliban Larang Perempuan Kuliah, Universitas Swasta Afghanistan Terancam Tutup

Mahasiswi Afghanistan berdiri di luar Universitas Kabul di Kabul, Afghanistan, pada 21 Desember 2022. (Foto: dok. AP/Ebrahim Noroozi)

KABUL, SATUHARAPAN.COM - Seperempat universitas swasta Afghanistan berisiko ditutup karena larangan menerima mahasiswi yang diberlakukan oleh pemerintah Taliban, kata juru bicara sektor tersebut, hari Kamis (29/12).

Penguasa Afghanistan pekan lalu melarang perempuan untuk menghadiri universitas, memberikan pukulan lain terhadap hak dan kebebasan perempuan dan anak perempuan sejak mereka merebut kekuasaan di negara itu pada Agustus 2021. Langkah tersebut juga memicu kecaman internasional dan protes di dalam negeri.

Seorang menteri pendidikan tinggi di pemerintahan Taliban, Nida Mohammad Nadim, telah membela larangan tersebut, dengan mengatakan perlu untuk mencegah pencampuran jender di universitas dan karena, menurutnya, beberapa mata pelajaran melanggar nilai-nilai Islam dan Afghanistan.

Meskipun pada awalnya menjanjikan aturan yang lebih moderat yang menghormati hak-hak perempuan dan minoritas, Taliban telah secara luas menerapkan interpretasi keras mereka terhadap hukum Islam, atau hukum Syariah, sejak mereka mengambil alih negara tersebut.

Mereka melarang anak perempuan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, melarang perempuan dari sebagian besar bidang pekerjaan dan memerintahkan mereka untuk mengenakan pakaian dari kepala hingga ujung kaki di depan umum.

Perempuan juga dilarang mendatangi taman dan pusat kebugaran. Masyarakat Afghanistan, meski sebagian besar tradisional, semakin merangkul pendidikan anak perempuan dan perempuan selama dua dekade terakhir di bawah pemerintahan yang didukung Amerika Serikat.

Juru bicara serikat universitas swasta, Mohammad Karim Nasiri, mengatakan 35 institusi berisiko ditutup karena larangan tersebut. Siswa laki-laki juga telah memboikot kelas dan ujian sebagai solidaritas dengan rekan perempuan mereka, tambahnya.

Afghanistan memiliki 140 universitas swasta di 24 provinsi dengan total sekitar 200.000 mahasiswa. Dari jumlah tersebut, sekitar 60.000-70.000 adalah perempuan. Universitas mempekerjakan sekitar 25.000 orang.

“Menutup universitas (untuk perempuan) merupakan pukulan spiritual dan material,” kata Nasiri. “Kami dengan berani memberi tahu pihak berwenang bahwa, dengan keputusan ini, bangsa ini mundur dan semua orang khawatir.”

“Ini bukan situasi yang baik, semua orang khawatir dengan keputusan ini, apakah itu guru, siswa, atau staf administrasi,” tambahnya.

Karena semua kerugian finansial, pemilik universitas swasta mengatakan kepada pejabat senior Taliban, Maulvi Abdul Kabir, dan serikat pekerja bahwa mereka tidak punya pilihan selain menutup kampus dan memindahkan investasi mereka ke luar negeri jika keputusan tidak dibatalkan, kata Nasiri.

Dia tidak menyebutkan jangka waktu untuk penutupan tersebut. Sebagian besar universitas saat ini sedang libur musim dingin. Kementerian Pendidikan Tinggi juga tidak segera tersedia untuk dimintai komentar.

Larangan universitas diikuti beberapa hari kemudian oleh perintah pemerintah yang memberitahu wanita Afghanistan untuk berhenti bekerja di kelompok non pemerintah (NGO) internasional dan domestik, diduga karena perempuan tidak mengenakan jilbab dengan benar. Itu adalah larangan lain yang memicu reaksi keras.

Pada hari Rabu, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan beberapa program "kritis" telah dihentikan sementara di Afghanistan karena kurangnya staf perempuan. PBB menekankan bahwa staf perempuannya adalah kunci untuk respons kemanusiaan di negara itu, mengakses populasi yang tidak dapat diakses oleh pria, dan melindungi komunitas yang dilayani.

“Melarang perempuan dari pekerjaan kemanusiaan memiliki konsekuensi langsung yang mengancam jiwa bagi semua warga Afghanistan,” PBB memperingatkan dalam pernyataannya.

“Ini terjadi pada saat lebih dari 28 juta orang di Afghanistan, termasuk jutaan perempuan dan anak-anak, membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup saat negara itu bergulat dengan risiko kondisi kelaparan, kemerosotan ekonomi, kemiskinan yang mengakar, dan musim dingin yang brutal,” kata Dewan Keamanan PBB. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home