Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 23:13 WIB | Selasa, 21 Maret 2017

Ahli: Sikap Keagamaan MUI Picu Masalah Semakin Besar

Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersiap menjalani persidangan lanjutan kasus dugaan penistaan agama di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (3/1). Ahok menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ahli Ushul Fiqih IAIN Raden Intan Lampung Ahmad Ishomuddin menyatakan dikeluarkannya sikap dan keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 justru menjadi pemicu masalah semakin besar. 

"Terjadi demonstrasi besar di Monas dan sebagainya. Itu yang maksud saya jadi pemicu setelah adanya sikap dan keagamaan MUI tersebut," kata Ahmad saat memberikan keterangan dalam sidang ke-15 Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3).

Selain itu, kata dia, sikap dan keagamaan MUI itu pun memunculkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) sehingga terjadi demonstrasi dengan massa cukup besar.

Lebih lanjut, ia pun mempermasalahkan bahwa hadirnya sikap dan keagamaan itu tidak melalui proses konfirmasi atau keterangan terlebih dahulu terhadap Ahok.

"Saya dapat informasi MUI tidak lakukan klarifikasi. MUI sendiri tidak melakukan pengecekan langsung ke Kepulauan Seribu dan tidak minta keterangan Pak Ahok, tiba-tiba keluar sikap dan keagamaan itu," ucap Ahmad.

Ahmad Ishomuddin juga membenarkan soal pernyataan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyebutkan bahwa Surat Al Maidah ayat 51 tidak mengatur larangan memilih pemimpin non muslim.

"Benar, pada masa Rasulullah SAW ayat itu sesungguhnya untuk melindungi umat Islam dan ajaran Islam dari orang-orang yang membencinya yaitu orang Yahudi dan orang Nasrani yang saling bekerja sama dan bersatu untuk memusuhi Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Jadi, itu urusan agama bukan pemilihan umum," kata Ahmad.

Hal tersebut sempat diungkapkan oleh Gus Dur saat mengikuti kampanye untuk mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Eko Cahyono saat Pilkada Bangka Belitung 2007.  

Dalam persidangan itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga mempertanyakan terkait pekerjaan ahli sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Saya hadir di tempat ini bukan mewakili PBNU bukan mewakili MUI juga karena saya juga salah satu Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI dan juga bukan mewakili instansi tempat saya bekerja, saya hadir sebagai pribadi," ucap Ahmad.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home