Loading...
INSPIRASI
Penulis: Priskila Prima Hevina 08:59 WIB | Selasa, 01 Mei 2018

Di Balik Seragam Kemeja Putih

Kalau sudah ikhlas, mestilah pelayanan tuntas.
Calon tenaga kerja Indonesia (foto: istimewa)

SATU HARAPAN.COM – Setiap Selasa seluruh pegawai di kantor tempat saya bekerja diharuskan mengenakan seragam kemeja putih dengan bawahan hitam. Banyak yang merasa keberatan dengan seragam ini. Selain karena bahan kainnya panas dipakai, ada alasan lain yang membuat kami tidak nyaman.

Kombinasi kemeja putih dan bawahan hitam membuat kami tampak seperti anak magang, seperti peserta management trainee, seperti Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI).  Khususnya para CTKI yang setiap hari datang ke kantor untuk mengikuti kelas pembekalan akhir pemberangkatan.  Kantor saya adalah lembaga pemerintahan yang membidangi urusan tenaga kerja di luar negeri.  

Tidak jarang para CTKI itu asal cablak ngajak ngobrol saat antre di toilet atau saat tak sengaja bertemu di warung mie ayam depan kantor, mengira lawan bicaranya adalah sesama CTKI. Hanya emblem dan ID card pegawai yang menunjukkan bahwa kami bukan CTKI seperti mereka. Kami adalah pegawai kantor yang didatangi para CTKI itu.

Perasaan risih dengan penampilan yang mirip CTKI menjamur di antara para pegawai kantor, termasuk saya. Saat menyadari perasaan ”tidak ingin dilihat seperti CTKI” saya menyadari ada kesombongan di sanubari. Juga saat saya menganggap ”saya lebih baik dari pada para CTKI itu”, saya tergagap.

Jangan-jangan seragam kemeja putih ini bukan sekadar baju seragam. Kemeja putih ini memaksa saya menjadi sama seperti CTKI, menempatkan saya pada posisi selevel dengan CTKI. Agar saya menghormati mereka dan menekan ego ”lebih baik” supaya saya dapat belajar dari mereka yang saya rendahkan itu.

Kemeja putih dan bawahan hitam menjadikan pemakainya mirip seperti anak baru kemarin sore yang polos dan siap untuk belajar. Apa memang itu tujuannya? Yakni agar kami pegawai ini selalu belajar rendah hati dan selalu ingin belajar hal baru dari waktu ke waktu.

Ikhlas mengabdi, tuntas melayani. Itu moto kantor saya yang terpajang di dinding. Apalah artinya kalau hanya jadi pajangan dan tidak dikerjakan. Ikhlas itu jika saya tidak sedikit pun merasa lebih pintar dibanding dengan para CTKI yang datang ke kantor. Ikhlas itu jika saya tidak merasa harga diri terinjak saat ada CTKI yang bertanya ”Eh, lu mau berangkat kemana?” saat sedang berjalan beriringan menuju mushola.

Kalau sudah ikhlas, mestilah pelayanan tuntas. Tuntas menghadirkan empati pada CTKI itu bagaimana pun latar belakangnya. Tuntas mengerti mereka dalam segala sudut pandangnya, melalui seragam atasan putih dan bawahan hitam.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home