Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 12:18 WIB | Rabu, 05 Agustus 2015

Ditahan di AS, Imigran Kristen Korban ISIS Merasa Didiskriminasi

Sekelompok umat Kristen Kasdim berunjuk rasa di luar rumah tahanan imigrasi AS di Otay Mesa, memprotes penahanan 27 umat Kristen Kasdim yang sedang mencari suaka. (Foto:. Howard Lipin/Twitter: @hlipin/San Diego Union)

OTAY MESA, SATUHARAPAN.COM - Puluhan imigran Kristen Kasdim (Chaldean) Irak yang terpaksa lari dari negara mereka menghindari kejaran ISIS telah ditahan di pusat penahanan imigrasi AS, (Immigration and Customs Enforcement/ICE) California, selama enam bulan terakhir setelah mereka melintasi perbatasan dari Meksiko.

San Diego Union melaporkan pada 31 Juli bahwa 20 dari 27 umat Kristen Kasdim yang ditahan di Otay Mesa, California, memiliki anggota keluarga yang tinggal di California dan bersedia mensponsori mereka. Namun, mereka telah ditahan selama enam bulan tanpa kejelasan nasib. Itu sebabnya, anggota keluarga tersebut melakukan unjuk rasa di San Diego dan Detroit, untuk menarik perhatian pemerintah atas penahanan tersebut.

Anggota keluarga mengatakan mereka telah diberikan beberapa rincian tentang mengapa para pelintas batas itu ditahan begitu lama, meskipun mereka adalah pengungsi dari Timur Tengah. "Ini bukan orang yang memutuskan menyeberangi perbatasan AS-Meksiko. Mereka adalah orang-orang yang mengatakan, 'kami tidak punya tempat lain untuk pergi,' "kata Mark Arabo, juru bicara komunitas Kasdim, kepada San Diego Union.

"Sepertinya perbatasan terbuka untuk semua orang kecuali jika Anda seorang Kristen Irak yang melarikan diri ISIS," sindir Arabo ketika berbciara kepada Fox News, Senin (3/8).

"Obama patut disalahkan, Kongres bersalah, Departemen Luar Negeri AS juga bersalah."

Orang-orang Kristen Kasdim ditahan "tanpa logika atau penjelasan; mereka melarikan diri dari kejaran ISIS untuk kemudian dipenjarakan oleh ICE. Ini adalah 20 orang Kristen yang tidak bersalah yang lolos dari bencana hanya untuk dipenjarakan oleh ICE, "kata Arabo. "Seharusnya mereka kita sambut, bukan untuk dipenjarakan."

Lauren Mack, jurubicara ICE, membenarkan 27 warga Irak ditahan tapi dia mengatakan tidak bisa mengomentari kasus imigrasi secara individu.

Perpanjangan penahanan warga Kristen Irak itu dinilai kontras dengan cara AS menangani imigran perempuan dan anak-anak dari Amerika Tengah  ketika mereka melintasi perbatasan musim panas lalu. Mayoritas mereka ditahan hanya dalam hitungan hari atau minggu, kemudian dilepaskan dan diberi tanggal sidang di pengadilan imigrasi.

Mantan anggota Kongres dari Partai Republik, Frank Wolf Virginia, yang kini menjabat sebagai anggota senior 21st  Century Wilberforce Initiative, yang mengadvokasi orang Kristen yang dianiaya di seluruh dunia, mengatakan sangat menyedihkan melihat bagaimana prioritas pemerintah AS terhadap pencari suaka.

"Kita harus memahami mengapa mereka  meninggalkan negara mereka saat mereka menghadapi genosida," kata Wolf kepada wnd.com, seraya menegaskan bahwa dirinya telah pernah mengunjungi daerah dari mana para imigran itu berasal.

Tidak mengherankan bila orang-orang Kristen yang diburu oleh ISIS akan berusaha untuk meninggalkan negara mereka dan mencari perlindungan di negara seperti Amerika Serikat di mana mereka memiliki ikatan keluarga dan ikatan budaya, kata dia.

"Fakta bahwa perbatasan bisa disusupi adalah sebuah tuduhan yang umum terhadap pemerintah. Orang-orang telah berbicara tentang hal itu selama bertahun-tahun, "kata Wolf. Tapi, menurut dia, tidak mungkin menyuruh imigran Kristen Kasdim harus kembali ke Irak. Yang lazim, menurut dia, adalah  memberi mereka tanggal pengadilan dan membebaskan mereka.

Wolf menilai ada kesan bias yang melekat terhadap orang Kristen pada pemerintahan saat ini.

Menurut dia, ada kesan lebih mudah bagi Muslim untuk mendapatkan suaka di AS daripada orang Kristen dan itu sudah berjalan selama beberapa tahun.

"Saya tidak tahu mengapa, tetapi jika Anda melihat angka terbaru yang telah keluar, itu cukup jelas," kata Wolf.

"Ingat ketika 21 orang warga Kristen Koptik dipenggal kepalanya,  mereka disebut pekerja migran Mesir, bukan orang Kristen. Dan ketika 148 orang Kristen Kenya dieksekusi oleh al-Shabaab, mereka juga tidak disebut Kristen. Sehingga jelas tampak ada bias yang melekat di Departemen Luar Negeri. Saya pikir hal itu lebih terlihat pada pemerintahan sekarang, meskipun dalam pemerintahan sebelumnya bias ini sudah ada di Departemen Luar Negeri," kata dia.

Joop Koopman, manajer komunikasi  pada Aid to the Church in Need USA, mengatakan perlakuan terhadap umat Kristen Kasdim tampaknya keluar dari kebijakan utama Kementerian Luar Negeri AS. Menurut Koopman, imigran Kristen Kasdim dari Irak sangat layak untuk mendapat suaka di AS. "Kecuali ada alasan lain yang tidak kita ketahui," kata dia.

Koopman mengatakan kasus pencari suaka akan terus meningkat sejalan dengan  upaya ISIS memberantas agama Kristen dari Timur Tengah.

"Jelas akan ada semakin banyak jenis-jenis kasus yang datang, seperti umat Kasdim Kristen yang dipaksa keluar dari negara mereka. Mereka tidak akan memiliki pilihan lain kecuali untuk imigrasi massal," katanya. "Jadi apa yang akan kita lakukan? Akankah AS dan negara-negara lain memberikan ruang untuk mereka? Pertanyaan besar adalah, akankah penganiayaan oleh ISIS dianggap memenuhi syarat sebagai dasar memberi suaka? "


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home