Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 06:23 WIB | Senin, 23 September 2013

Film Jembatan Bacem: Kisah Penghilangan Paksa Korban 65

Yayan Wiludiharto. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peristiwa 1965 terjadi sangat sistematis dan birokratis. Peristiwa itu bukan hal yang terjadi mendadak dan serta merta saja terjadi. Orang-orang yang dituduh dan dicurigai keluarga komunis, keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi yang dituduh underbouw PKI, dan segala macam pendukung Soekarno, dipanggil dan dikumpulkan di kantor kecamatan dan Balai Kota Solo.

“Mereka semua dikumpulkan di situ. Mereka dibagi-bagi di beberapa tempat di kota Solo. Ternyata setiap malam ada istilah bon. Bahkan istilah bon masih dipakai sampai sekarang. Ketika peristiwa Cebongan, masih ada istilah bon itu. Artinya peristiwa itu memang berulang, orang bisa meminjam. Memanggil orang dari satu tempat ke tempat untuk membunuh, itu yang terjadi di Solo," kata Yayan Wiludiharto.

"Jadi, orang-orang ini dipanggil dan dibawa oleh satu kelompok, diambil dari satu tempat. Istilahnya di-bon pada malam hari. Kemudian dibawa ke satu tempat. Kemudian dioper ke kelompok lain lagi. Jadi antara satu kelompok dengan kelompok lain itu tidak saling kenal,” kata Yayan Wiludiharto menambahkan. Dia adalah aktivis hak asasi manusia dan script writer “Jembatan Bacem”.

“Terus yang mengeksekusi tidak pernah tahu. Jadi kalau dalam film saya, orang dari Klaten dipindah ke Sukoharjo. Orang dari Sukoharjo dipindah ke Klaten. Mereka tidak akan mengenali tetangganya. Seperti rantai terputus sehingga informasi penghilangan paksa itu sekaligus pula penghilangan jejak. Sulit sekali melacak peristiwa penghilangan paksa itu,” kata dia.

Perasaan Para Korban

"Jembatan Bacem" merupakan satu tempat di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang di bawahnya mengalir sungai Bengawan Solo. Tempat itu merupakan tempat eksekusi dan kemudian menjadi simbol bagi para keluarga korban ’65 yang kehilangan keluarga, sanak saudara, dan kerabatnya. Mereka berdoa dan tabur bunga, dalam istilah Jawa disebut nyadran. Ini terjadi di tahun 2005. "Jembatan Bacem" merupakan jembatan perasaan para keluarga korban ’65.

“Sebelumnya, masyarakat di Solo atau orang-orang yang menjadi korban itu tidak pernah tahu apakah betul saudaranya, atau anggota keluarganya, atau bapaknya dibunuh di tempat itu. Tidak ada yang pernah tahu. Gak ada informasi apa pun,” kata Yayan.

Peristiwa "Jembatan Bacem" terjadi pada bulan Desember 1965. Saksi mata peristiwa itu yang ditemui pada tahun 2007 menyebutkan ada satu atau dua orang yang lolos dalam eksekusi. Baru pada tahun 2012, Yayan Wiludiharto pada akhirnya bertemu dengan orang tersebut. Akhirnya, dia menyatukan periode footage dari 2005 hingga 2012 untuk film “Jembatan Bacem” dan baru sekitar tahun 2013 selesai..

Peristiwa ’65 adalah sesuatu yang penting diangkat Yayan Wiludiharto. Karena banyak hal yang gelap dalam sejarah Indonesia. Ada satu proses yang pada akhirnya dia harus paham bahwa hal itu pun terjadi di keluarganya.

“Saya paham kenapa ibu saya, adik, dan kakak-kakak pada bercerai. Itu juga karena latar belakang zaman dulu, yaitu Orde Baru, harus bersih lingkungan. Karena tidak bersih lingkungan kemudian bercerai. Dan orang-orang seperti saya, sebetulnya banyak," kata Yayan Wiludiharto ketika diwawancara.

Bersih lingkungan artinya tidak berhubungan dengan orang-orang yang dituduh dan dicurigai keluarga komunis, keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI), dan organisasi yang dituduh underbouw PKI.

Perlu Tahun

Film tentang korban ’65 baginya merupakan media untuk mengungkapkan korban peristiwa ’65. Melalui film, diharapkan semakin banyak orang berempati pada korban ’65. Dan pada akhirnya negara bisa mengakomodir soal korban ’65 dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi atas mereka.

“Masyarakat juga perlu tahu ada sejarah yang harus diungkap. Karena ini terkait dengan pendidikan dan kebudayaan. Tetapi persoalan ’65, stigmatisasi, bukan persoalan hukum saja, tetapi juga persoalan kebudayaan. Orang memahami secara keliru tentang peristiwa itu. Bagian-bagian itu yang harus dijelaskan. Karenahal  itu terkait dengan soal pendidikan dan konteks sejarah.”

Upaya pemulihan korban ’65, menurut Yayan Wiludiharto, merupakan jalan yang masih panjang. Sementara kekerasan di negeri ini terus berlangsung, karena absennya negara. Bahkan negara ikut mengakomodir kekerasan karena berkepentingan dengan kekuasaannya. Kekerasan terus ada supaya tetap berkuasa.

Film “Jembatan Bacem” mengingatkan hal itu. Film ini dua kali tayang dalam acara Bentara Putar Film Meneropong Tragedi 1965 di Bentara Budaya, Jakarta, Jum’at (20/9) dan Sabtu (21/9). Film yang diputar mulai April 2013 ini produksi Elsam bekerjasama dengan Pakorba Solo.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home