Loading...
ANALISIS
Penulis: Benny Susetyo Pr 16:18 WIB | Jumat, 12 Februari 2016

Hanya Satu Kata Lawan!

Benny Susetyo Pr. (Foto: satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM - Berbagai usaha untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dilakukan. Lembaga antikorupsi yang dibentuk dengan semangat untuk memerangi korupsi yang sistemik di Indonesia ini, sejak berdirinya telah menghadapi tantangan yang datang bergelombang, terutama dari kelompok yang pro terhadap status quo. Mereka yang berambisi untuk memangkas wewenang KPK datang dari berbagai kalangan, diantaranya pengusaha, elit penegak hukum, pengacara, maupun elit partai politik. Sejumlah partai politik di Senayan, melalui wewenang legislasi yang mereka punya, juga aktif mendorong adanya revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, termasuk tatkala mereka berhasil memaksakan revisi UU KPK dalam prolegnas 2016.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), usaha sejumlah Partai Politik di DPR mengusulkan dan membahas Revisi UU KPK sudah dimulai sejak lima tahun lalu atau tepatnya tahun 2011. Proses legislasi revisi UU KPK adalah yang paling intens dan alot sejak era reformasi ini karena berulang kali diusulkan kemudian dibatalkan setelah mendapatkan penolakan dari publik. Paling tidak sudah ada 3 (tiga) Rancangan Revisi UU KPK yang diduga disiapkan oleh DPR dan beredar ke publik maupun media yaitu Naskah Revisi UU KPK edisi 2012, edisi Oktober 2015 dan edisi Februari 2016.

Upaya ini dilakukan secara sistimatis karena ada ketakutan KPK  begitu kuat akan membuat partai politik tidak berdaya. Korupsi sudah menjadi habitus partai politik. Dibutuhkan sebuah gerakkan rakyat melawan segala upaya  untuk memperlemah KPK demi menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran keadaban publik. Motif partai politik jelas untuk memperlemah KPK. Anggota DPR ditugasi oleh partai politik berupaya untuk memperlemah KPK dengan argumentasi yang logis namun penuh politik tipu daya. Gerakan rakyat untuk memberikan dukungan memperkuat posisi KPK sangat dibutuhkan  karena tanpa kekuatan rakyat KPK  akan kehilangan eksistensinya.

Korupsi terbukti bisa menghancurkan nilai-nilai kehidupan berbangsa. Keselamatan manusia diabaikan akibat begitu membudayanya korupsi dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai, harkat, dan martabat kemanusiaan sudah tidak lagi dianggap penting. Sudah jelas dan terbukti bahwa akar semua itu adalah maraknya korupsi dalam kehidupan publik kita. Semuanya ini sangat berdampak pada sarana keselamatan publik. Mental birokrat yang korup ini mengingatkan kita pada mentalitas birokrasi zaman VOC, yang bangkrut akibat korupsi para pegawainya. Birokrasi yang gemuk dan tidak efektif menghasilkan tata kelola yang jelek. Itulah yang kemudian melahirkan mentalitas jalan pintas. Mentalitas yang menunjukkan tanda tanya besar apakah benar bahwa bangsa ini memang pemalas.

Elit politik selalu ingin mencari keuntungan tanpa mau kerja keras. Ini mengingatkan kita akan ungkapan Mochtar Lubis. Beliau mengemukakan ciri manusia Indonesia, antara lain, ialah munafik, segan serta enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak hemat, kurang gigih, dan tidak terbiasa bekerja keras. Dengan karakter demikian, kita sebagai bangsa semakin rusak dari hari ke hari. Mentalitas jalan pintas adalah akibat, sebagai bangsa, kita tidak memiliki visi dan karakter. Ketidakjelasan arah pendidikan dan visi yang hendak dicapai merupakan problem paling berat negeri ini, tidak saja di masa kini, tapi juga di masa mendatang. Ini merupakan sebuah ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Ketidakseriusan dalam memberantas korupsi berarti juga mengkhianati semangat Konstitusi yang di dalamnya tercantum cita-cita masyarakat yang adil dan makmur serta cerdas bangsa.

Cita-cita itu merupakan dasar untuk memerangi korupsi karena korupsi membawa bangsa ini ke kebangkrutan. Bangsa ini harus diselamatkan karena sudah berada di ujung tanduk kehancuran akibat korupsi. Dalam perjalanan memberantas korupsi yang sudah mendarah daging, selalu terdapat tarik-menarik khususnya dari aspek penegakan hukum berhadapan dengan kekuasaan. Hukum yang sering diintervensi dengan pola-pola barter politik pada akhirnya tidak akan pernah bisa memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Korupsi begitu dekat dengan politik. Karena merupakan penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan kepentingan pribadi, korupsi paling sering dilakukan, sebab ada dukungan kekuasaan politik yang dimiliki pelaku. Dengan demikian, sudah seharusnya penanganan kasus-kasus korupsi dijauhkan dari intervensi politik agar ia menghasilkan keputusan hukum yang netral dan tidak memihak. Karena itu, aparat penegak hukum tidak boleh memiliki loyalitas dan pemihakan kepada siapa pun, terutama penguasa.

Namun, ideologi semacam itu bukan merupakan sesuatu yang mudah dilaksanakan. Ideologi semacam itu bahkan boleh dikatakan hanyalah mimpi. Karena korupsi dilakukan di aras politik dan hukum kerap tunduk pada penguasa politik suatu zaman, pemihakan keadilan sering kali tidak berimbang. Intinya, mereka yang berada dan memiliki jalur atau akses kekuasaan kerap kali mendapatkan situasi menguntungkan dari proses hukum yang terjadi. Ada yang mengatakan penegakan hukum itu model `belah bambu’, satu diangkat satu diinjak. Kembali pada upaya pelemahan pemberantasan korupsi, semua pihak harus kembali diingatkan agar tidak main-main dalam agenda ini, sebab rakyat sudah begitu muak dengan korupsi. Kerisauan seperti itu sudah semestinya mendapatkan respons aktif pemerintah, bukan dalam bentuk pencitraan semata.

Rakyat membutuhkan realisasi janji-janji manis pemberantasan korupsi, sebab korupsi hanya bisa ditangani dengan baik apabila terdapat komitmen kekuasaan yang dapat dibuktikan dan diukur dengan nyata. Itu lah yang ditunggu publik. Di manakah dia sekarang ini? Publik berharap pemimpin mengambil sikap tegas dan memiliki keberanian untuk memberantas korupsi dengan menolak revisi undang–undang KPK  yang jelas akan memperlemah kewenangan KPK. Dibutuhkan  gerakan  rakyat  untuk bersuara dan bergerak  terhadap upaya yang sistimatis memperlemah KPK. Gerakan dibutuhkan sebagai kekuatan penekan yang amat penting dalam pengambilan keputusan politik.

Mata hati publik memiliki kepekaan luar biasa karena usaha memperlemah KPK secara sistematis yang diupayakan parlemen, tokoh politik, serta konflik KPK dan Polri merupakan bagian skenario untuk mengurangi wewenang KPK. Upaya tersebut dilihat publik sebagai bagian dari rekayasa untuk membuat KPK menjadi lemah dan tidak berdaya. Publik melakukan perlawanan karena korupsi menjadi habitus para elite politik bangsa ini. Korupsi sudah menghancurkan keadaban bangsa.

Penulis adalah budayawan dan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home